Sabtu, 20 Juli 2013

Bestfriend

selalu ada cerita disetiap kesempatan :)
semoga selalu ada tawa dan cinta yang tercipta, agar tak pernah merasakan luka dan menetaskan air mata...













Tempat Impian

Inilah surganya Jawa, maha dahsyatnya alam untuk menimbulkan ketenangan dengan menyajikan panorma indah di ketinggian :)






Pelukan Senja

Untukmu yang akan meraih gelar master di kota sebrang

Senja bergulir begitu indah. Aku menikamatinya di pinggir pantai. Duduk menyandar pada tiang kayu. Melihat hamparan laut dengan riakan ombak kecil. Memandangi pipit yang terbang beraturan dibawah rona jingga langit sore. Rinduku membuncah, penantian panjangku untukmu belum juga usai. Setiap hari aku selalu berharap suatu saat kau akan hadir melambaikan tangan di ujung dermaga. Berlari dengan ransel yang kau bawa menuju arahku. Kemudian memeluk erat pada diri yang semakin menua, melihat senyum yang kau kulum saat aku memulai cerita, mendengar suara merdumu yang serupa rapalan doa.
Dua tahun sudah kita berpisah jarak. Hanya saling berkirim surat untuk sekadar menanyakan kabar.

Aku berjalan menyisir pantai. Semilir angin semakin terasa menyejukkan. Di tengah perjalannku, kulihat batang pohon kayu besar tergeletak di
tengah pasir. Tampat favorit kita saat berbagi cerita kala senja. Menyesapkan tawa dan cinta.
Bagimana aku bisa berhenti untuk menunggumu. Sudah terlalu banyak kenangan yang kita ciptakan. Air mataku pu juga sudah terlampau sering menetes dan kau hapuskan. Kirimkan kabar sekali lagi, beri aku secercah harapan untuk tetap menanti.
Sungguh, aku merindukanmu. Cepatlah pulang, tapi jika masih tak ada waktu, maka peluklah aku dari kejauhan sana.

Minggu, 14 Juli 2013

Cerita Sahabat SMA


untuk kalian: Ana, Inggi, Sasi, Hella, Mama 

Dari Jember,
Kulukiskan rindu yang tergambar pada rona jingga kala senja.
Mengenang kalian yang sungguh tak pernah ada habisnya. Menyajikan cerita demi cerita yang terkemas secara indah. Menimbulkan kenangan-kenangan paten yang terpatri dalam lubuk hati.
Apa kabar kalian disana? Rinduku sedang tak terbendung. Membuncah menanti sebuah pertemuan. Bercengkarama menusuk relung-relung jiwa kesepian.

Kita telah berpisah jarak antara satu dengan yang lain. Sebagaimana kita mengamini ketetapan langit tuk membawa kita ke tempat yang berbeda.
Senyum dan tawa kalian tetap disini. menemani disetiap kesendirian yang melanda secara tiba-tiba. Menghapus luka dan air mata yang tak sengaja merembes di sudut mata.

Tahukah kalian, senja telah bergulir, menenggelamkan matahari tuk menciptakan keindahan di ufuk barat. Bersegeralah kembali, sebelum petang menemuiku. Jika tidak, haruskah menunggu awan menjadi biru, menampakkan layang-layang terbang yang terkadang tanpa benang. Ataukah harus menunggu semilir angin  yang membingkai cerita sama. Serupa rapalan doa yang tak sampai karena dosa.
Serupa bait bait suci yang dibacakan. Seperti nada-nada yang dinyanyikan. Dijagad hidup kita yang kelak akan menjadi sejarah. Di temani gemercik hujan yang curahnya tak terbataskan. Menari-nari indah di tanah lapang dan meninggalkan pelangi ketika telah berhenti.
Jika memang seperti itu, maka bersepakatlah kita tuk menjadi rintik yang akan selalu turun dan menenyesap bersama,  yang berjanji tuk selalu setia mencapai bumi tapi tak merambat tuk membekukan hati.

Sabtu, 13 Juli 2013

Sepenggal Kisah


Tulisan ini untuk para sahabatku. Semoga suatu saat kita bisa berkumpul kembali, ketika masing-masing sudah mempunyai keluarga kecil sendiri.

Malam ini langit tampak berbintang.  Aku duduk di pinggir jendela kamar yang sengaja ku padamkan lampunya. Kunikmati semilir angin yang menghampiri. Dinginpun mulai menusuk tulang-tulangku yang semakin menua. Kupandangi gelap sawah yang terhampar luas dengan dihiasi lampu-lampu kota dari kejauhan. Lalu kualihkan pandangan pada sekelompok gadis belia yang sedang asik bertukar cerita diatas amben. Seketika itu rinduku menyeruak. Memaksa otakku untuk mencari memori masa lampau. Terbesitkan senyum-senyum yang menemaniku saat bersama menjabat sebagai seorang mahasiswa.

Teleponku tiba-tiba berdering, membuyarkan lamunan tentang masalalu. Ah, ternyata suamiku sedang mengabarkan bahwa ia akan pulang terlambat. Memang saat ini sepertinya banyak sekali urusan kantor yang harus ia selesaikan segera. Tapi ya sudahlah, toh aku sudah mulai terbiasa menikmati makan malam sendiri.

Saat kuletakkan telepon, tak sengaja kulihat buku yang berdebu disamping komputer butut dipojok kamar, lalu kumembawanya kasamping jendela. Ya jendela ini adalah tempat favoritku, entah mulai kapan dan sudah berapa lama. Tapi dari sini aku bisa menemukan berbagai inspirasi atau sekedar melepas penat setelah seharian bekerja, tentunya ditemani secangkir kopi panas.

Perlahan kubuka buku yang tampak usang. Kutiup debu pada lembaran-lembaran yang sudah termakan usia. Ternyata sebuah album foto tentang perjalananku dengan suamiku. Mulai dari pertama bertemu hingga akhirnya kami memutuskan untuk menikah beberapa tahun silam. Pada lembar akhir, terdapat foto berukuran besar. Banyak senyum sumringah tampak disana. Potret bersama kawan-kawan kuliah yang meluangkan waktunya untuk menengok lahiran putra pertamaku.  Ah dimana mereka kini, sudah dua tahun belakangan tak ada kabar sama sekali.

Pikiranku mulai bersafari. Mengingat detail peristiwa tentang pertemuanku dengan mereka. Sedikit sulit untuk membuka memori tujuh tahun lalu, saat kami dipertemukan pada sebuah bangunan sederhana dibelakang warung. Dengan tak sengaja menyewa kamar di lantai bawah, akhirnya kami merajut sepenggal kisah. Mulai dari menghabiskan waktu untuk bercerita, mengerjakan tugas, makan bersama, atau sekedar melihat film. Kebersamaan itu membuat kami menjadi akrab layaknya saudara. Dan kini kurindukan saat-saat itu.

Tak lama kudengar sebuah ketukan, kuletakkan album pada tempat semula dan bersegera membukakan pintu. Ternyata suamiku telah pulang. Dengan dandanan yang sedikit berantakan, dan muka yang terlihat letih, ia sempatkan tuk tersenyum membalas sambutanku. Tanpa basa basi seperti biasanya, ia bersegera membersihkan diri lalu mengajakku shalat berjamaah. Setelah itu kami menghabiskan waktu dengan saling bertukar cerita. Sudah lama aku tak berbincang dengannya seperti ini, mungkin karena kesibukan kami yang cukup menguras waktu dan tenaga. Biasanya kami hanya saling menyapa, menanyakan kabar, membicarakn putra kami di sela-sela sarapan, kemudian sama-sama  pergi bekerja. Tapi tidak untuk hari ini, kami menghabiskan waktu di balkon rumah. Kebetulan putra kami sedang berlibur di rumah neneknya. Suasana menghangat ketika kami memulai cerita dengan mengenang masalalu, hingga akhirnya menceritakan apa yang dialami belakangan ini, dan rencana apa yang akan kami lakukan saat liburan yang tinggal beberapa hari lagi. Kuhela nafas panjang, kupikir seperti biasanya saja, pulang ke kampung halaman untuk melepas rindu pada ibu bapak dan ia menyetujuinya sembari mengatakan, bahwa ada yang ikut serta pada liburan kami kali ini. Saat ku tanya, ia hanya tersenyum lalu menghisap rokok dan menyruput kopi panasnya. Akankah itu sahabat-sahabatku, entahlah semua masih dirahasiakan.


#untuk para sahabatku: lia, ninda, ita, yuni, rona, tsalis, mbak bibi, dan para penghuni kosan mbak indah (vira, linda, rini, ulfi, cece, dinda, vivi, denok, zulfa) dan yang tidak dapat disebutkan satu persatu.

Budaya Penggencetan Adik Kelas


Banyak peristiwa yang saya alami tentang penggencetan, dimulai dari masuk sekolah menengah pertama. Saat itu saya harus mengikuti aturan sekolah sebagai siswa baru, yaitu menjalani masa orientasi. Banyak perintah-perintah tidak wajar dari kakak kelas yang harus dijalani. Mereka seenaknya menyuruh siswa baru melakukan hal-hal konyol yang bisa dijadikan bahan tertawaan. Bagi mereka yang punya kelebihan percaya diri, hal-hal tersebut bisa dilewati dengan mudah, tapi bagi yang mengidap minder akut, hal sekecil apapun akan membuatnya malu setengah mati. Harusnya saat masa orientasi, bukan digunakan untuk mencari sensasi, ajang mencari muka dan gaya-gayaan karena merasa lebih tua, tapi alangkah baiknya jikalau kakak-kakak kelas memberikan sesuatu yang bermanfaat, baik dan bisa dicontoh, bukan menciptakan peristiwa berkesan tapi tidak berbobot. Sungguh ironis.  
Hal tersebut berlanjut ketika saya masuk pada salah satu organisasi. Awal masuk, masih baik-baik saja, maklum para senior mencari anggota. Setelah memasuki minggu ketiga mulai ada tindakan penggencetan. Para senior marah-marah tidak jelas. Masalah kecil dibesar-besarkan, membentak-bentak di depan muka, bahkan ada tindakan untuk mendaratkan tangan di pipi karena saat itu kekerasan di dunia pendidikan belum di atur ketat, sehingga seperti dilegalkan. Saya dan teman-teman seperjuangan hanya bisa berargumen seadanya, jika salah kami harus selalu siap untuk dihukum  satu porsi. Satu porsi disini mempunyai arti, 100 push-up, 100 back-up, 100 jampingjam, 25 sit-up,dan 5 kali putaran lari keliling lapangan basket. Tapi saat itu saya menganggapnya sebagai ujian mental, dan bertahan hingga lulus dan mendapat sebutan purna. Pada saat masuk pada perguruan tinggi juga sama, ada ospek yang tidak beda jauh dengan masa orientasi siswa. Jikalau untuk mempererat silaturhmi antara kakak angkatan dan adik angkatan, saya masih memaklumi, tapi ternyata itu hanya tertulis di proposal saja, pada kenyataannya, kakak-kakak tingkat menjadikan ospek sebagai ajang cari jodoh, yang mereka suka, ya diperlakukan istimewa, yang tidak mereka suka diperintah ini itu. Sungguh tidak adil rasanya. Mengapa banyak orang bangga akan hal-hal seperti itu. Seakan-akan mereka bangga jikalau adik-adik kelasnya ketakutan dan mau menuruti perintah-perintah konyol. Misalnya saja mereka memerintahkan membeli bakso dengan diberi uang 300rupiah. Para peserta ospek terpaksa mengamen untuk mendapatkan uang. Setelah uang dirasa cukup mereka membelikan semangkuk bakso dan diserahkan kepada kakak tingkat yang menyuruh, kalau bakso tersebut dimakan bersama-sama mungkin tidak jadi masalah, tapi ternyata bakso tersebut dimakan sendiri dan akhirnya kakak tingkat yang lain juga ikut-ikutan untuk memberi uang seadanya untuk membeli ini itu. Tidak masuk diakal rasanya. 
Jika mereka melatih dan memberi pelajaran pada adik tingkat tentang susahnya mencari uang dan survival itu bagus. Yang menjadi masalah adalah perjuangan adik angkatan dimanfaatkan oleh kakak-kakak angkatan yang tidak bertanggung jawab untuk memenuhi keinginannya, membeli pulsa, makanan, minuman dan sebagainya yang dikonsumsi sendiri. 

Setelah menjadi mahasiswa dan berkawan dengan banyak mahasiwa dari fakultas dan jurusan lain, saya mulai mendapatkan banyak informasi untuk meminimalisir bahkan memusnahkan budaya penggencetan yang mendarah daging pada mereka-mereka yang menganggap dirinya senior. Saya mulai menanamkan pada organisasi yang saya ikuti saat SMA. Ketika pendidikan dan latihan atu lebih dikenal diklat, saya tidak ‘mengompori’ siswa baru untuk melawan senior, tapi saya melakukan pendekatan pada senior-senior yang merupakan adik kelas saya. Saya memberikan pengertian bahwa budaya penggencetan itu tidak ada manfaatnya, karena sikap keras didikan senior akan ditiru oleh adik-adiknya. Jika mereka menginginkan para junior bermental tangguh, tanpa adanya penggencetan juga bisa dilakukan. Pera senior tidak perlu memebentak-bentak di depan muka junior, karena suara lantang disertai emosi, juga merupakan penggencetan, meski bukan fisik tapi itu berpengaruh pada mental para junior. Jika ada yang melakukan kesalahan, para senior tidak perlu membentak, cukup menegur tetapi tetap tegas dan wibawa. Jika terpaksa memberi hukuman fisik, tidak perlu berlebihan, sewajarnya saja. Hal tersebut saya pantau terus menerus, tentunya dibantu teman-teman saya yang lain dan para senior saya terdahulu yang sama-sama menjbat menjadi purna atau alumni. Hal tersebut merdampak positif, mental-mental para adik tingkat saya bisa dibilang tangguh, dibuktikan banyaknya yang diberi amanat sebagai ketua kelas bahkan ketua osis, dan hal tersebut tidak menciptakan sekat antara junior, senior, serta purna karena mereka merasa dilindungi, dan para purna merasa di hargai. Untuk prestasi adik-adik kelas saya disetiap perlombaan juga  tidak diragukan lagi.Jadi, budaya penggencetan itu tidak ada manfaatnya.

Terimakasih Telah Memberiku Kesempatan tuk Menjadi Guru Kalian


Untukmu murid-muridku. Kalian adalah satu. Satu diantara berjuta orang yang memberi warna. Satu diantara mereka yang mampu melahirkan kebahagiaan. Saat ini, nanti, dan semoga untuk selamanya. Akan kurindukan senyuman dan canda kalian. Akan kurindukan celoteh kalian yang mampu memecahkan tawa.  Dan akan kurindukan sebutan “IBU” untukku. Andai aku bisa memilih, andai tak ada tuntutan tuk menggapai cita, andai aku mudah tuk meraih mimpi, kuingin tetap disini, berbagi dan saling mengisi.
Untukmu murid-muridku. Maaf jika keberdaanku tak berkenan, maaf jika pernah ada kata yang melukai, maaf jika semua tak seperti yang kalian harapkan, ketika dikelas ataupun saat menjaga kalian ujian. Sungguh tak pernah sedikitpun inginku tuk mengecewakan. Sungguh tak sedikitpun inginku membuat kalian terluka. Aku menyayangi kalian dalam diam, aku merindukan kalian disetiap malam.
Terimakasih telah bersedia duduk berjam-jam mendengarkan meski sangat membosankan. Terimakasih telah membuatku bahagia. Terimakasih untuk senyum, airmata, dan segala kenangan yang kalian berikan. Terimakasih telah menggoreskan cerita dilembaran hidupku. Dan terimakasih atas kesmpatan yang kalian berikan tuk menjadikanku seorang  guru.

“I MISS YOU XI Broadcasting dan XI Multimedia” ^^