Pagi ini tampak mendung. Matahari
enggan muncul beberapa hari belakangan, dan aku menanti gerimis di balik
jendela kamar. Padahal sejak dulu aku tak menyukai suasana hujan di pagi hari,
yang menurutku hanya menghambat aktifitas pagi dan mengubah mod menjadi tak
bersemangat.
“Ini ku buatkan teh panas.” Terdengar
suara laki-laki yang sudah aku kenal sejak bertahun-tahun lalu. Aku tersenyum
dan sedikit menggeser posisiku. Kami duduk sejajar menghadap halaman depan yang
terguyur hujan. Ku lanjutkan lamunanku dan dia sibuk membaca buku yang sudah
digenggamnya sejak tadi. Ia mulai membalik lembar demi lembar sebelum kemudian
terdengar bunyi dering ponsel yang menunjukkan pesan singkat bahwa deadline
kantor dimajukan besok siang.
“Ceritanya ini wanita pengagum senja
beralih menjadi pecinta hujan?” Tanyanya yang kembali menekuri lembar demi
lembar buku yang tak kunjung rampung ia baca. Sudah hampir sepekan ini ia
membaca buku yang sama. “Coba lihat itu, kau tak pernah kalah cantik dengan
bunga yang menari bahagia terguyur derasnya hujan.” Sambungnya sambil tersenyum
menatapku. Aku pikir ia sedang basa-basi untuk mengawali pembicaraan.
Warna langit mulai berubah menjadi
putih, meski sebagian masih tampak gelap. Hujan mulai sedikit mereda. Beberapa
orang berjalan berlalu lalang membawa payung. Bocah-bocah kecil yang bermain
air masih asik berlari kesana-kemari mencari talang air dan berdiri di
bawahnya, serupa menikamati air terjun di daerah pegunungan. Sedangkan kami
masih betah duduk disini dan tak banyak bicara.
Hanya terdengar suara rintik air, denting jam tua, dan gesekan kertas
dari buku yang sedang dibaca.
“Kau tampak diam akhir-akhir ini.
Tak seperti biasanya yang selalu banyak bertanya tentang buku-buku yang aku
lahap habis dalam semalam. Kemudian berdiskusi panjang lebar, ah tidak,
berdebat mungkin lebih tepatnya, meski akhirnya aku menjadi orang yang harus
mengalah.” Ia tertawa ringan. Sejenak aku menyimaknya berbicara, kemudian
kualihkan lagi pandanganku ke halaman depan rumah. Melihat tawa bocah-bocah itu
lebih mengasyikkan untukku ketimbang berbicara persoalan yang sedang malas ku
bahas.
Akhir-akhir ini aku memang tak
terlalu banyak bicara. Beberapa kali aku masak seadanya, hanya membuat sayur
bening dan menggoreng tempe. Rasa malas sedang mengglayutiku sehingga tak
bersemangat mencari resep-resep baru dan memasak yang sedikit istimewa meski
hanya berbahan dasar telur atau sayur-mayur yang mudah didapat di pasar depan
gang rumah. Aku juga sedang tak ingin mendengar cerita-cerita buku Pramoedya,
Putut EA atau siapapun. Pikiranku masih terasa penuh untuk menampung
cerita-cerita baru.
Ia menutup bukunya dan meletakkan di
rak pojok ruangan, kami memang tak suka meletakkan apapun tidak pada tempatnya.
Kemudian ia meraih ponselnya dan menunjukkan beberapa foto kepadaku. “Ini
pemandangannya bagus ya, jika dapat libur panjang dari kantor kita bisa pergi
kesana. Eh tapi ini juga bagus, ini juga.” Ia mengeser foto demi foto dilayar
ponselnya. Ia berusaha mencari apapun yang bisa dijadikan topik pembicaraan. Begitu
banyak tempat indah yang sudah ia kunjungi. Beberapa bidikannya terlihat
mengagumkan. “Bukit bintang seperti bagus, aku pernah melihat beberapa jepretan
yang diunggah disalah satu blog milik mahasiswa Surabaya. Menatap senja dari
ketinggian sepertinya menyenangkan.” Ujarku yang akhirnya bersuara. Ia tak
mengangguk, tak juga menggeleng, hanya tersenyum tipis. Ia sama sepertiku
menyukai senja. Bagi kami senja itu meneduhkan. Ibarat orang sudah berumur yang
tak lagi melulu memikirkan dunia. Senja selalu tampak sederhana dan bagi kami
senja tak selalu sama.
Aku beranjak dari tempatku. Mengambil
bingkisan dilemari kecil tempat kami menaruh baju. Ku serahkan bingkisan
berbungkus kertas warna kuning padanya. “Apa ini?” Tanyanya sambil
membolak-balik bingkisan berbentuk kotak. “Buka saja!” Jawabku singkat. Dengan segera
ia membuka bingkisan yang aku beri. Sebuah jam tangan yang ia impikan sejak
setahun lalu. Ia terlihat sumringah. “Tapi ini tak terlalu istimewa untukku
saat ini,” ujarnya. Dahiku mengerut, aku berusaha mencerna kalimat terakhirnya.
Jam tangan yang ia impikan selama ini dan aku membelinya dengan menyisihkan
uang belanja dan gajiku setiap bulannya, ternyata tak berarti apa-apa. Rasa kecewa
menyelinap begitu dalam. Ia beranjak meninggalkanku sendiri yang menunduk lesu.
Tak lama ia kembali duduk
disampingku dengan senyum yang lebih lebar. “Ini lebih istimewa dari yang tadi.”
Ia menyerahkan amplop putih kepadaku kemudian memelukku dengan erat, lebih erat
dari biasanya. Hasil tes kehamilan seminggu lalu yang aku simpan sebagai
kejutan diawal tahun, ternyata terbongkar lebih cepat. Ah suamiku, semoga ini
pertanda baik bahwa tak ada hal sekecil apapun yang kita sembunyikan.
Bagus mbak penuturan cerita dan bahasanya.. lanjuuuut. semoga sukses.. :-)
BalasHapushehehe, thanks mas. maaf baru balas. baru buka notifikasi :D
HapusAku harus nulis juga selama musim liburan! Semangat!!!!!
BalasHapushehehe, iya mbak. semaangaat..
Hapussalam kenal dari Jember :D