Selasa, 28 Juni 2016

Perbincangan Kala Hujan



Pagi ini tampak mendung. Matahari enggan muncul beberapa hari belakangan, dan aku menanti gerimis di balik jendela kamar. Padahal sejak dulu aku tak menyukai suasana hujan di pagi hari, yang menurutku hanya menghambat aktifitas pagi dan mengubah mod menjadi tak bersemangat.
“Ini ku buatkan teh panas.” Terdengar suara laki-laki yang sudah aku kenal sejak bertahun-tahun lalu. Aku tersenyum dan sedikit menggeser posisiku. Kami duduk sejajar menghadap halaman depan yang terguyur hujan. Ku lanjutkan lamunanku dan dia sibuk membaca buku yang sudah digenggamnya sejak tadi. Ia mulai membalik lembar demi lembar sebelum kemudian terdengar bunyi dering ponsel yang menunjukkan pesan singkat bahwa deadline kantor dimajukan besok siang.
“Ceritanya ini wanita pengagum senja beralih menjadi pecinta hujan?” Tanyanya yang kembali menekuri lembar demi lembar buku yang tak kunjung rampung ia baca. Sudah hampir sepekan ini ia membaca buku yang sama. “Coba lihat itu, kau tak pernah kalah cantik dengan bunga yang menari bahagia terguyur derasnya hujan.” Sambungnya sambil tersenyum menatapku. Aku pikir ia sedang basa-basi untuk mengawali pembicaraan.

Warna langit mulai berubah menjadi putih, meski sebagian masih tampak gelap. Hujan mulai sedikit mereda. Beberapa orang berjalan berlalu lalang membawa payung. Bocah-bocah kecil yang bermain air masih asik berlari kesana-kemari mencari talang air dan berdiri di bawahnya, serupa menikamati air terjun di daerah pegunungan. Sedangkan kami masih betah duduk disini dan tak banyak bicara.  Hanya terdengar suara rintik air, denting jam tua, dan gesekan kertas dari buku yang sedang dibaca.
“Kau tampak diam akhir-akhir ini. Tak seperti biasanya yang selalu banyak bertanya tentang buku-buku yang aku lahap habis dalam semalam. Kemudian berdiskusi panjang lebar, ah tidak, berdebat mungkin lebih tepatnya, meski akhirnya aku menjadi orang yang harus mengalah.” Ia tertawa ringan. Sejenak aku menyimaknya berbicara, kemudian kualihkan lagi pandanganku ke halaman depan rumah. Melihat tawa bocah-bocah itu lebih mengasyikkan untukku ketimbang berbicara persoalan yang sedang malas ku bahas.
Akhir-akhir ini aku memang tak terlalu banyak bicara. Beberapa kali aku masak seadanya, hanya membuat sayur bening dan menggoreng tempe. Rasa malas sedang mengglayutiku sehingga tak bersemangat mencari resep-resep baru dan memasak yang sedikit istimewa meski hanya berbahan dasar telur atau sayur-mayur yang mudah didapat di pasar depan gang rumah. Aku juga sedang tak ingin mendengar cerita-cerita buku Pramoedya, Putut EA atau siapapun. Pikiranku masih terasa penuh untuk menampung cerita-cerita baru.
Ia menutup bukunya dan meletakkan di rak pojok ruangan, kami memang tak suka meletakkan apapun tidak pada tempatnya. Kemudian ia meraih ponselnya dan menunjukkan beberapa foto kepadaku. “Ini pemandangannya bagus ya, jika dapat libur panjang dari kantor kita bisa pergi kesana. Eh tapi ini juga bagus, ini juga.” Ia mengeser foto demi foto dilayar ponselnya. Ia berusaha mencari apapun yang bisa dijadikan topik pembicaraan. Begitu banyak tempat indah yang sudah ia kunjungi. Beberapa bidikannya terlihat mengagumkan. “Bukit bintang seperti bagus, aku pernah melihat beberapa jepretan yang diunggah disalah satu blog milik mahasiswa Surabaya. Menatap senja dari ketinggian sepertinya menyenangkan.” Ujarku yang akhirnya bersuara. Ia tak mengangguk, tak juga menggeleng, hanya tersenyum tipis. Ia sama sepertiku menyukai senja. Bagi kami senja itu meneduhkan. Ibarat orang sudah berumur yang tak lagi melulu memikirkan dunia. Senja selalu tampak sederhana dan bagi kami senja tak selalu sama.
Aku beranjak dari tempatku. Mengambil bingkisan dilemari kecil tempat kami menaruh baju. Ku serahkan bingkisan berbungkus kertas warna kuning padanya. “Apa ini?” Tanyanya sambil membolak-balik bingkisan berbentuk kotak. “Buka saja!” Jawabku singkat. Dengan segera ia membuka bingkisan yang aku beri. Sebuah jam tangan yang ia impikan sejak setahun lalu. Ia terlihat sumringah. “Tapi ini tak terlalu istimewa untukku saat ini,” ujarnya. Dahiku mengerut, aku berusaha mencerna kalimat terakhirnya. Jam tangan yang ia impikan selama ini dan aku membelinya dengan menyisihkan uang belanja dan gajiku setiap bulannya, ternyata tak berarti apa-apa. Rasa kecewa menyelinap begitu dalam. Ia beranjak meninggalkanku sendiri yang menunduk lesu.
Tak lama ia kembali duduk disampingku dengan senyum yang lebih lebar. “Ini lebih istimewa dari yang tadi.” Ia menyerahkan amplop putih kepadaku kemudian memelukku dengan erat, lebih erat dari biasanya. Hasil tes kehamilan seminggu lalu yang aku simpan sebagai kejutan diawal tahun, ternyata terbongkar lebih cepat. Ah suamiku, semoga ini pertanda baik bahwa tak ada hal sekecil apapun yang kita sembunyikan.

4 komentar:

  1. Bagus mbak penuturan cerita dan bahasanya.. lanjuuuut. semoga sukses.. :-)

    BalasHapus
    Balasan
    1. hehehe, thanks mas. maaf baru balas. baru buka notifikasi :D

      Hapus
  2. Aku harus nulis juga selama musim liburan! Semangat!!!!!

    BalasHapus
    Balasan
    1. hehehe, iya mbak. semaangaat..
      salam kenal dari Jember :D

      Hapus