Selasa, 03 September 2013

Khayalan Pernikahan


Setiap manusia tentu pernah berkhayal. Terkadang di antaranya ada yang tidak bisa dinalar oleh akal manusia. Tapi itu tetap menjadi hak setiap manusia untuk berkhayal apapun, selama tidak merugikan orang lain.

Saya adalah salah satunya. Menciptakan khayalan-khayalan yang sering tidak terlaksana karena memang tidak mungkin. Tapi kali ini saya berkhayal yang dibatasi nalar manusia, meski tetap Tuhan yang mengijabah semuanya.

Diusia saya yang sudah menginjak kepala dua, tentu saya juga mempunyai keinginan bahwa suatu saat nanti saya akan menikah. Berdasarkan pemikiran tersebut, khayalan saya mulai menari-nari di pikiran. Dalam khayalan, saya akan menikah dengan seseorang yang senang membaca buku dan sukses dengan wiraswastanya. Menikah dalam gedung yang kental dengan adat Jawa. Mengenakan pakaian panjang berwarna merah marun yang bagian bawahnya sedikit memecah beserta asesoris warna emas. Jilbab yang dikenakan akan dibentuk sedemikian rupa, juga diberi asesoris berwarna emas dan rangkaian bunga melati. Sedangkan mempelai pria juga mengenakan pakaian warna merah marun dengan pelipit baju warana emas. Kemudian kami berdua melewati karpet merah yang tergelar di dalam sebuah gedung dengan diiringi lagu gamelan jawa saat berjalan menuju kuade


Senin, 02 September 2013

Wahai Para Manusia Pecinta Alam, Benarkah Kau Mencintai Alam???


“ dikutip dari seseorang ‘bapak dosen nomor satu’ “

Pecinta alam, sering kali di identifikasikan sebagai kegiatan yang berhubungan dengan alam. Menjelajah gunung, menyusuri gua, mengarungi indah samudra, merambah belantara yang sunyi dan sederet kegiatan ‘alam’ lainnya.

Tentang pecinta alam itu sendiri di negeri kita, sering kali kegiatan yang dilakukan hanya sebatas sloganisasi belaka, sebatas mereka menikmati alam untuk diri sendiri. Sebatas mencari kepuasan untuk kepentingan pribadi.
(Bacalah wahai pecinta alam),,
pecinta alam seringkali melakukan aktivitas yang justru mengganggu keseimbangan alam. Menjelajah gunung dan membuat jejak-jejak disana, mencoret-coret batu di puncak, membuang sampah non organik ke sembarang tempat. Membuat api unggun yang seringkali lupa dimatikan. Memetik Edelweis hingga beratus-ratus tangkai.

“perkataan dari bapak dosen yang dicintai oleh banyak anak didiknya“

Saat sekolah dulu, saya pernah terlibat dalam dunia Pecinta Alam. Jujur kala itu orientasi hanya mencari background yang bagus untuk foto-foto saya. Rasa bangga sekali bila berhasil ‘menaklukkan’ puncak-puncak tertinggi. Memang rasanya damai sekali di tengah kesunyian alam. Menikmati keindahan kota nun jauh disana yang tertutup oleh sebagian kabut. Menyaksikan keindahan sunrise dan sunset kala cuaca bersahabat. Dengan apapun itu takkan pernah tergantikan.Hanya saja yang sering mengganggu saya, seringkali diperjalanan menuju puncak banyak sampah berserakan. Tentunya ini adalah sampah yang dibawa oleh pendaki. Karena sebagian besar makanan yang dibawa khas sekali. Sampai dipuncak lebih mengerikan lagi. Bebatuan yang semestinya terlihat asri dan indah penuh coretan. Sialnya coretan-coretan itu seringkali membawa nama sekolah atau kampus yang notabene lebih ‘terpelajar’ dari pendaki liar.Saya pernah merasa malu sekali katika dalam pendakian kami secara kebetulan berpapasan dengan pendaki dari mancanegara. Dengan sebuah kantong besar menuruni gunung sambil memunguti aneka sampah yang terserak. Rasanya kami tak punya muka untuk menatap mereka. Tentu bukan karena sampah yang mereka pungut adalah sampah kami melainkan karena kepedulian mereka terhadap alam.Sementara pendaki lokal, yang (seharusnya) memiliki kesadaran lebih justru mengabaikannya.

Sebuah organisasi pecinta alam (yang biasanya ngetren dikalangan mahasiswa) seharusnya bukan hanya sekedar tempat bernaung bagi mereka yang senang berpetualang saja atau menghabiskan anggaran dana dikampus.

Ironis membayangkan mereka melakukan pendakian besar-besaran yang menelan biaya tinggi sampai keluar negeri. Sementara di negeri sendiri, negeri yang (seharusnya) elok dan kaya akan hutan tropis perlahan mulai kehilangan identitasnya. Pencurian kayu, pembabatan hutan secara liar luput dari penyelamatan sang Pecinta Alam.

“menurut bapak dosen“
‘Pecinta Alam’ dalam konteks bahasa adalah seseorang yang sangat mencintai alam. Mencintai berarti melakukan banyak hal untuk sesuatu/seseorang yang dicintai. Mencoba membahagiakan sesuatu/seseorang yang dicintai dengan tulus. Melakukan banyak hal agar sesuatu/seseorang yang dicintai merasa nyaman.Mencintai itu tanpa sederet syarat apapun. Mencintai itu sesuatu yang tulus, tanpa pamrih.

Mencintai alam, sama halnya dengan melakukan banyak hal untuk alam. Tanpa syarat-syarat khusus tapa dibarengi rasa keegoisan untuk memiliki alam secara pribadi tanpa mengabaikan apa yang sebetulnya dibutuhkan oleh alam.

Semua harus dilakukan tanpa pamrih, pamrih untuk dimunculkan di media massa. Tanpa pamrih di puji banyak pihak, tanpa pamrih untuk mendapatkan dukungan dana berlebih yang pada akhirnya digunakan entah kemana.

Mencintai alam, mencintai wujud ciptaan-Nya. Mengasihi setiap apa yang ada di dalamnya.Memulai dari hal yang kecil disekitar kita. Meski kecil, andai setiap orang melakukannya pasti hasilnya menjadi lebih berarti.



`terimakasih untuk bapak guru sekaligus dosen nomor satu, yang selalu mempunyai hal baru untuk mengajar, yang selalu membuat setiap orang tersenyum, yang membuat siswa/mahasiswa nyaman saat sekolah/kuliah, yang membuat mahasiswa jadi berebihan dan gila saat berpuisi, yang selalu memberi semangat dalam keadaan apapun. Semoga kita bisa mencintai alam ya Pak. Amiiinn..`

Sebelum 30 Tahun


Masa muda adalah masa merancang impian untuk masa depan. Banyak hal yang disusun, diperjuangkan agar bisa memetik hasilnya suatu saat nanti.
 Saya salah satunya. Diantara juataan manusia yang punya mimpi, saya berada diantaranya.
Tidak banyak yang saya impikan, tapi saya berusaha untuk fokus menggapainya.

Saya seorang mahasiswa semester delapan disalah satu Universitas Negeri di kota saya. Hal yang ingin saya capai pertama adalah mendapat gelar sarjana. Setelah bersusah payah untuk menjalani ritual sebagai  mahasiswa, tentu saya berharap bahwa ujung perjuangan saya tersebut adalah memakai toga dan berfoto dengan bapak ibu. Membawa piagam dengan nilai-nilai yang tidak mengecewakan.

Tak hanya itu, masih banyak hal yang ingin saya capai sebelum mencapai usia 30 tahun. Impian saya yang kedua adalah mempunyai pekerjaan tetap sebagai penulis dan berwirausaha sebagai pemilik catering dan percetakan. Setidaknya saya dapat mengamalkan ilmu yang saya dapatkan sebagai sarjana bahasa, menyalurkan hobi memasak saya dan mengembangkan usaha bapak, sekaligus mencari rizki untuk kedua orang tua saya, dan untuk keluarga kecil saya nanti jika telah menikah.

Untuk saat ini, saya sedang memfokuskan pada hal-hal tersebut dan hal lain yang ingin saya capai akan datang seiring berjalannya waktu. Semoga akan selalu ada semangat untuk mencapai impian-impian yang telah direncanakan.