Kamis, 06 Juni 2013

Kalung untuk Ibu (part1)

Kurang lebih 4 tahun yang lalu. Hari itu sangat terik, saat ku tinggalkan rumah yang kondisinya bisa dibilang jauh dari kemewahan. Meninggalkan ibu dan adikku satu-satunya. Aku pergi ke kota yang jaraknya cukup jauh dari tempat tinggalku. Aku di kota ini karena ibu yang menyuruhku. Beliau bilang aku harus menuntut ilmu tinggi agar nanti bisa hidupku enak.

Ingin kurubah nasib keluargaku yang sering mendapat caci maki dari orang-orang sekitar karena ibu sering berhutang. Padahal mereka tak tahu bahwa ibu berhutang untuk menghidupi kedua anaknya agar tidak kelaparan. Terlebih lagi setelah kepergian ayah yang dipanggil Tuhan saat ku masih duduk dibangku SMP, ibu semakin bekerja keras untuk menghidupi kami.

Awal ku menginjakkan kaki di kota ini, semua terasa asing. Bangunan-bangunan tinggi, rumah-rumah mewah, bising, asap polusi dan udara yang sangat panas, semua berbeda sekali dengan desaku. Namun setelah kurang lebih 3tahun aku hidup disini, semua menjadi biasa saja.

Dulu aku setiap sebulan sekali pulang tuk mengunjungi ibu dan adikku yang baru duduk dibangku Sekolah Dasar. Sekalian memberikan separuh gajiku untuk tambahan biaya hidup mereka. Meski gajiku pas-pasan karena aku hanya bekerja sebagai pelayan toko, namun masih bisa jika ku gunakan untuk biaya kuliah. Nilai kuliahku yang dibilang cukup memuaskan, tak menjamin ku terpilih menjadi orang yang layak untuk menerima beasiswa.

Sekitar setahun yang lalu, aku mulai jarang pulang. Tugas kuliahku menumpuk dan aku harus bekerja lembur untuk mencari gaji tambahan yang nanti ku gunakan untuk membelikan sebuah kalung. Kadang tersirat rasa iri pada teman-temanku, khususnya teman sekamarku. Dia terlihat sangat bahagia dengan segala kemewahan yang dia miliki. Aku mengenalnya sejak aku pindah kos  ketempat ini. Dia wanita yang cukup manis dan cukup sibuk dengan segala aktifitasnya. Dia wanita yang memiliki pasangan dan bisa dibilang cukup cerdas. Dia baik sekali, sering membantuku dan memberikan motivasi, dan kami saling bertukar cerita. Namun kehidupan kami berbeda. Bagiku dia cukup sempurna dalam segalanya, termasuk pintar membahagiakan ibunya.

Saya dan Lumba-lumba

Dolphin atau orang Indonesia menyebutnya lumba-lumba, adalah hewan yang paling saya suka. Saya sendiri tidak terlalu ingat kapan tepatnya mulai menyukai hewan pintar ini.  Seingat saya, saya sudah menaruh hati pada hewan lumba-lumba sejak taman kanak-kanak, ya anggap saja cinta tak tergantikan, tapi bukan berarti saya tidak normal. Saya mencintai lumba-lumba layaknya manusia yang mencintai hewan peliharaannya.
Saya mengenal nama lumba-lumba sejak ada pertunjukkan di kota saya, kota Jember lebih tepatnya. Saya diantar ayah, pergi beserta teman-teman dan guru-guru TK saya untuk melihat pertunjukan itu. Saya ingat saat itu saya hanya bisa mengahafal penjumlahan, dan ekstrimnya lumba-lumba yang saya tonton sedang memainkan angka, tidak hanya penjumlahan tapi juga perkalian (lebih pintar lumba-lumba daripada saya).
Namun tak bisa dipungkiri, kecerdasan hewan mamalia itu membuat saya kagum dan menjatuhkan hati. Anehnya setelah pulang kerumah, saya malah mempunyai keinginan untuk memliihara,  tapi mau dipelihara dimana?? Jadi saya putuskan untuk mengagumi tanpa memiliki
Lambat laun, saya mulai lupa tentang hewan kesayangan saya. Hingga saya beranjak menjadi remaja SMA.  Saya ingat saat itu saya baru memecah celengan untuk membeli handphone baru, dan kebetulan teman saya menjual gantungan ‘HP’ yang terbuat dari kain flanel. Pada saat itu saya ingin membeli gantungan berbentuk hati berwarna hitam, sepertinya lucu jika dipasang pada handphone saya. Akan tetapi saya tidak membeli itu melainkan menjatuhkan pilihan pada yang kedua, yaitu berbentuk ikan berwarna merah marun. Kebetulan merah marun merupakan warna favorit saya sejak SMP. Setelah saya membeli dan memasangkan pada handphone saya, saat itulah saya kembali mencintai lumba-lumba.
Pada ulang tahun yang ke 17 saya mendapatkankan kado boneka lumba-lumba dari sahabat saya bernama "Inggie Narisma". Kemudian sahabat saya SMP yang kebetulan juga bernama Inggi, memberikan hadiah lumba-lumba saat akan pindah ke kota Surabaya untuk melanjutkan kuliah. Lalu saat saya berusia 19 tahun, saya juga mendapat kejutan dari seseorang yang menjabat sebagai pasangan saya pada saat itu, memberikan boneka lumba-lumba berukuran besar, dan banyak lagi teman-teman saya yang memberikan kado boneka lumba-lumba, dan anehnya semua berwarna pink.
Kini barang saya mulai dua boneka besar yang menemani saya tidur, gantungan handphone, gantungan kunci rumah, gantungan kunci motor, gantungan flasdisk, gantungan tas, dan sebagainya, semua berbentuk lumba-lumba. Ya bisa dibilang lumba-lumba menemani kapanpun dan dimanapun saya berada.
Namun, dari sekian barang saya yang berbentuk lumba-lumba, ada satu "lumba-lumba" yang paling saya sayangi. Mungkin karena peristiwa mendapatkannya sangat mengharukan. Saat itu semua teman seangkatan sedang sibuk dengan urusan masing-masing, skripsi lebih tepatnya dan saya salah satu mahasiswa yang menjalankannya. Ditengah penantian saya menunggu dosen, teman karib saya datang, namanya Miftah Widyan Pangastuti atau lebih akrab dipanggil "Ita’. Dengan ransel dipundak, berpakaian tomboy tapi tetap berhijab dan gaya jalannya yang tidak pernah berubah, dia melemparkan senyum tiada henti saat menghampiri saya. Sumringah kata orang jawa. Setelah tepat berada dihadapan saya, dia mengeluarkan sesuatu dari dalam tasnya. Dolphin berwarna biru berukuran medium. Tapi bukan peristiwanya yang membuat saya terharu, tapi pembicaraannya saat menyerahkan boneka itu. Dia berkata bahwa ketika dia melihat lumba-lumba itu dia ingat saya dan berniat menyerahkan lumba-lumba mungil itu pada saya sejak 2 minggu yang lalu tapi tak pernah bertemu, karena selama 2 minggu saya harus menjaga bapak di Rumah Sakit, bahkan saat teman saya yang kebetulan juga pecinta lumba-lumba ingin memiliki, dia tidak memberikan. Oh God, so sweet. Terimakasih kawan.


Diam Seorang Ayah

Ayah bukan orang yang istimewa. Hanya seorang imam dalam keluarga. Laki-laki yang menjadi panutan bagi anak dan istri. Sosok lelaki yang membimbing keluarganya di jalan ilahi. Ayah bukan orang yang istimewa. Namanya jarang disebut dibanding ibu.
Ya, ibu… yang mengandung dan melahirkan putra putrinya dengan menaruhkan nyawanya.
Jika anaknya menangis, maka dia akan berlari kepelukan ibu. Mengharap belaian ibu dapat menentramkan dan menguatkan hatinya.
Ibu.. ibu.. ibu.. seorang yang sangat istimewa. Dan ibu akan tetap menjadi orang yang paling istemewa. Tak ada yang dapat merubah kenyataan itu. Hal itu yang membuat ayah seperti tak terlalu spesial.
Ayah memang bukan orang yang istemewa. Bukan orang papan atas yang selalu ingin dipuji. Bukan pejabat yang gila hormat.
Bagiku ayah sosok orang yang kuat. Tak pernah mengeluh meski rapuh. Tak pernah menangis meski sakit. Dimataku ayah orang yang hebat. Maski selalu diam seperti tak peduli.
Sebenarnya ayah diam bukan karena tak sayang. Tak berkata bukan karena tak mau tahu. Tapi ayah hanya tak mau menambah beban. Tak mau memperkeruh keadaan. Tak ingin mempersulit persoalan yang rumit.
Ayah mengajarkan kesabaran. Memafkan setiap orang yang telah melukai perasaan. Mengajarkan ketegaran hidup walau telah terhempas suram dalam kelam. Mangajarkan ketangguhan maski harus menggenggam bara api.
Ayah selalu melukiskan senyum. Bertutur kata lembut menentramkan jiwa.
Ayah memang bukan orang yang istimewa. Tapi ayah yang melindungi dan menjaga keluarganya.
Selamanya. . . . dan sepanjang usianya.
Seketika aku membuatnya bangga, maka dia laki-laki pertama yang akan bertepuk tangan akan keberhasilanku.

Senin, 03 Juni 2013

Malam Pertemuan

Secangkir kopi panas terhidang dalam sebuah meja panjang. Masih belum tersaji hidangan yang telah dipesan. Euforia kedatangan teman lama begitu terasa pada malam yang semakin larut, ditambah perayaan tak resmi oleh manusia yang berkurang umurnya.

Tawa terpecah menyelimuti keakraban yang telah lama hilang. Mengobati rindu yang telah lama terpendam. Menyatukan pelukan yang telah lama terpisah.
Bersama senyum..
Bersama air mata..
Bersama jiwa yang terlihat tegar, kuat dan siap menantang badai..
Bersama pikiran yang terasah untuk bersaing..
Bersama hati yang begitu angkuh..

Asap rokok turut menemani kebersamaan pada malam dingin. Tatapan teduh namun mampu merapuhkan jiwa yang kokoh. Bisikan kata yang begitu lirih menyayat perasaan  tenang. Arogan yang tak kunjung hilang. Menganggap dewa yang wajib dipuja.
Muak melihat muka itu. Muak mendengar cerita kehidupan. Namun malaikat kecil yang datang dari jauh meneteskan embun tuk memadamkan kobaran api.

Hilang,
Rasa itu. Senyum itu. Kepedulian yang muncul disela-sela kesibukan.
Dimana,
Mungkin telah pergi bersama bintang. Atau bagai layang-layang yang terbang tanpa benang.
Haruskah memikirkan hal yang mampu menciptakan peperangan. Tapi  jika diam akan menenggelamkan raga yang telah lelah.

Tidak..
Tidak  akan ku rusak suasana ini. Kubiarkan pikiranku mengalir mengikuti arus yang tak tau akan bermuara kemana. Kubiarkan ragaku menikmati kebahagian semalam bersama orang istimewa yang datang dari jauh. Kubiarkan mataku menikmati indahnya pahatan sang pencipta yang pernah menghianati kepercayaan. Kubiarkan luka menyeruak kepermukaan. Kubiarkan kebodohanku menggiringku pada dunia kemunafikkan.
Mungkin itu kebahagian. Kebahagiaan dalam nestapa. Cinta dalam luka.
Entahlah,
Yang ku tau, ku menikmati malam

Setelah Hari Sakral Nanti


Belum terlalu larut saat kulewati jalanan ibukota. Taburan bintang semakin memperindah suasana malam. Berkeliling bebas menikmati dinginnya semilir angin. Setidaknya sebelum masa lajangku usai. Semakin dekat waktu itu, semakin cepat detak jantungku. Entah bagaimana nanti, esok, lusa, dan waktu-waktu selanjutnya. Dan hari itu telah tiba. Kini kusandang gelar sebagai seorang istri. Sedikit canggung ketika kini tinggal berdua seatap dengan orang yang melamarku di sebuah rumah makan setahun lalu. Mungkin belum terbiasa dengan suasana baru atau bagaimana. Entahlah. Namun aku selalu berusaha melakukan yang terbaik untuk keluarga kecilku.
Terlebih hari ini, tepat setahun aku menikah. Memang tak ada perayaan tapi setidaknya aku ingin membuat kedaan hari ini sedikit istimewa dibandingkan biasanya. Aku bergegas membersihkan rumah. Aku tak ingin ketika suamiku pulang, dia bertambah penat karena isi rumah yang berantakan, dan bersegera aku memasak masakan terlezat kesukaannya. Aku ingin saat dia pulang, dia memakan apa yang kusediakan dengan raut muka bahagia dan seskali tersenyum melihat kearahku.
Kemudian aku bergegas mandi  dan bersolek di depan cermin, memilih pakaian terbaik lalu berkaca memutar badan. Sesekali tersenyum, mencari senyuman terbaik untuk menyambut kedatangannya. Kusisir rambut hingga rapi dan kupakai parfum. Aku ingin menjadi orang yang mampu menghiburnya sejenak setelah seharian ia penat bekerja. kamudian kami saling bercerita apa saja yang kami lakukan hari ini, bertemu dengan siapa, melihat apa, membicarakan apa, menginginkan apa, saling memuji dan mencela, kemudian membuat rencana bersama, apa yang akan dilakukan, target apa yang ingin dicapai, hingga akhirnya kami sama-sama lelah bercerita dan kemudian tersenyum saling pandang dan akhirnya bercinta.