Jumat, 25 Juli 2014

Kau Sempurna Sebagai Masalalu

Aku terpercik hutang rindu dengan lakon yang menyempurnakanmu sebagai masalalu.
Aku mulai mengakrabkan diri pada waktu yang tak pernah iba memberikan luka.
Karenanya,
Ada rindu yang tak pernah tuntas terbayar
Sebagaimana cinta yang tak pernah tunai oleh pengakuan yang terhambat sebuah pengingkaran.
Seketika marahmu menjadi mahal tanpa bisa ku tawar.
Sementara itu,

Penyemangat Skripsi

Rasa malasku selalu datang setiap aku harus duduk bergelut dengan buku dan komputer.  Mencari segala sesuatu yang mungkin bisa memberiku sedikit semangat, tapi tak ada. Hingga akhirnya ibu menemaniku  mengerjakan dengan bercerita ngalor ngidul, dan aku hanya menanggapi dengan senyum tanpa menoleh kearahnya.

Sejenak mataku mulai panas karena menahan air mata agar tidak menetes. Kemudian aku memeluk erat wanita paruh baya yang  sudah beruban. Aku merasa bahwa aku sangat beruntung terlahir dari rahimnya.
Berapapun usiaku saat ini, sesibuk apapun aktivitasku. Beliau tetap menganggapku anak kecilnya yang lugu. Anak semata wayangnya yang akan terus beliau jaga.

Suatu Saat Nanti

Ketika banyak orang merencanakan akan berlibur kemana, maka aku tetap bermimpi disini. Mengamini tempat yang kau bilang sangat luar biasa dan istimewa. Entah berapa lama aku harus mengumpulkan rupiah untuk menuju tempat itu.  Perlu perjuangan dan butuh waktu lama untuk menikmatinya. Terlampau jauh, hingga tak tahu bagaimana aku bisa sampai disana. Terlalu hina rasanya jika harus kutengadahkan tangan meminta pada orang tua. Biar aku cari rupiah sendiri dengan bekerja dan aku akan berlibur ke pulau Lombok berdua denganmu suatu saat nanti, pasti.

Diluar tempat itu, sebenarnya inginku tak terlalu jauh. Jogja saja sudah kuanggap cukup. Dengan menaiki kereta dari Jember menuju Surabaya untuk menjemputmu, lalu bersama menuju kota pendidikan. Bersama-sama menikmati perjalanan dan sampai disana tetap berdua denganmu. Sedikit kubayangkan bagaimana perjalanan kita nanti. Akan ada banyak diam yang terlalu angkuh untuk kusapa. Berjalan beriringan namun tetap dengan pikirannya masing-masing.

--::***::--

Kita akan bersama mencari penginapan tanpa perlu banyak perdebatan. Lalu hanya berdiam diri ditempat bermalam, dengan menikmati rintik hujan atau sekedar saling bertukar cerita. Sesekali kau akan menjawab pertanyaanku, kemudian kau mengakhiri pembicaraan dengan diammmu, setelah itu kita (lagi-lagi) dengan pikirannya masing-masing. Ketika malam tiba, maka kita menikmatinya dengan dua cangkir kopi panas di lesehan pinggir jalan ditemani lampu kota dan ramai kendaraan, mungkin juga diramaikan oleh suara pengamen jalanan yang silih berganti. Setelah merasa semakin larut, kita pulang ke tempat penginapan dengan kau berjalan mendahului dan sesekali menengok kearahku yang berada jauh dibelakang, sedangkanku berpura-pura menikmati jalanan sekitar lalu sesekali menikmati angkuhnya punggungmu yang terus melaju kedepan.

Mungkin kita akan mengahabiskan waktu berhari-hari di kota orang. Tapi entah bagaimana keadaan yang akan menjadi penutup. Apakah sama dengan dua kemungkinan yang kubayangkan. Kau akan mengakhiri liburan dengan mengajakku kesebuah tempat dengan berjalan bergandengan tangan, lalu kau sematkan cincin dijari manisku dan diakhiri ucapan mesra yang selalu kunantikan. Atau akan ada hari suram yang tidak pernah kuamini, namun semakin melekat kuat pada pikiran yang kuingkari, mengusik keterjagaanku. Ada ketakutan yang selama ini kuhindari dengan diam dan bertahan,  dimana kau akan memutuskan untuk berjalan semakin jauh dan aku tak lagi bisa mengahampirinya hingga menjadi gamang dan tangisanku pecah tak bersuara.