Malam
ini takbegitu ramai, gerimis membasahi jalanan beraspal di
depan warung kopi. Liana masih belum beranjak dari tempat duduknya
selepas magrib tadi. Pikirannya masih melayang jauh entah kemana.
“Kosong?”
sapa perempuan sebayanya.
“Iya,
silahkan.”
Keheningan
masih menyelimuti mereka berdua. Tak ada obrolan, hanya ada suara
dentingan gelas yang beradu dengan alasnya, karena kopi dituang.
“Suka
menyendiri disini?” sapa perempuan yang belum ia kenal.
“Lumayan.
Anda juga sering kesini?” akhirnya Liana menimpali.
“Ya
kadang kala suntuk.”
“Berarti
sekarang sedang suntuk?”
“Tidak
juga, aku tak berkata seperti itu. Hahaha..”
“Sial.
Hahaha..”
“Hani”
perempuan itu menyodorkan tangan.
“Liana.”
Lagu
Faded 'Where are you know' memutar tidak terlalu kencang dari radio
kopi. Mereka menikmatinya dengan diam. Menikmati hamparan sawah yang
membentang di depan mereka, dengan lampu kota dari kejauhan.
“Suka
memotret?” tanya Liana mencairkan suasana.
“Tidak
terlalu, hanya sekali waktu saja jika tidak sibuk dengan urusan
kantor. Kau suka menulis? Sudah berapa judul karangan yang kau
rampungkan?”
“Hahahaha,
saya hanya suka menulis judul, untuk isinya kadang kalau sedang ada
yang ingin ditulis saja. Kalau tidak ya cuma tergeletak sebagai
kertas kosong.”
“Kau
sendiri kenapa suka memotret?”
“Memotret
itu lebih gampang, tinggal membidikkan lensa kamera pada sasaran.
Kadang hasil jepretan juga bisa bercerita lebih banyak dari rangkaian
panjang kata-kata. Bukankah begitu?” iya tersenyum menyeringai.
“Tapi
kan tidak semua orang bisa membaca hasil bidikan seseorang.”
“Itu
hanya orang yang enggan mencari tahu apa maksud
yang ingin disampaikan dari foto itu.”
“Sudah
berapa lama menekuni?”
“Cukup
lama, tapi hanya sebatas hobi, tidak minat untuk lebih serius.”
“Kenapa?”
“Tidak
mengapa, memotret buatku hanya untuk mengabadikan kenangan. Tidak
lebih.”
Warung
kopi mulai tampak ramai. Malam ini memang malam minggu. Hampir semua
bangku di warung kopi terisi penuh. Lampu minyak menyala disetiap
tiang penyangga. Asap rokok mulai sedikit memenuhi warung.
“Ceritakan
padaku apa enaknya menulis? Jangan bilang tidak tahu. Aku sudah
melihat bukumu terisi penuh dengan coretan tanganmu dengan
macam-macam judul. Hahaha..”
“Sial,
kau mengintip. Hahaha.. Menulis itu menyenangkan. Menuliskan apapun
yang kita pikirkan. Setidaknya apa yang menyesakkan pikiran bisa
sedikit berkurang. Menulis membuatku mengingat runtut setiap kejadian
tanpa terlewatkan sedikitpun.” pandangan Liana kosong menatap
sawah.
“Kau
ingin lihat hasil bidikanku?”
“Iya
boleh.”
“Ini
gunung yang pernah aku kunjungi. Aku suka mendaki. Entah mengapa
pemandangan dari atas selalu menarik minatku.” ia menceritakan satu
persatu hasil bidikannya. Liana memperhatikan dengan seksama setiap
jepretan yang diperlihatkan kepadanya.
“Ini
siapa?” tanya Liana kemudian, karena dari sekian banyak
pemandangan, terselip foto seseorang yang sedang mengulum senyum
menatap kamera.
“Laki-laki
ini? Ia temanku, teman dekat maksudnya. Sangat dekat mungkin. Tapi
entah sekarang dimana.”
“Kekasih
maksudnya?”
“Bukan,
tetapi hubungan kami lebih dekat dari itu. Kekasih kadang bisa
bertengkar. Kami tidak. Tidak pernah ada perselisihan diantara kami.
Kami selalu bertukar cerita apapun. Dia teman kerjaku dulu. Kami
selalu bersama entah dikantor ataupun diluar. Ia yang mengenalkanku pada
gunung., pada indahnya pemandangan dari atas puncak.” ia terdiam.
Matanya sedikit berkaca-kaca.
“Lalu?”
“Suatu
hari ia memintaku untuk tidak menghubunginya lagi. aku meminta penjelasan, tapi ia diam. Aku mencari tahu,
ternyata ia mempunyai kekasih. Meraka sudah cukup lama menjalin
hubungan dan akan segera menikah. Meski aku tidak tahu kapan tanggal
pastinya. Aku sempat tidak terima, aku berusaha menghubungi
wanitanya, meski aku tidak pernah tau langsung wajah wanita itu. Aku
hanya tahu nama lengkapnya saja.” wajahnya memerah
seperti meredam amarah.
“Kau
marah pada pria itu?”
“Tidak,
aku tak pernah bisa marah padanya. Aku hanya tak suka pada wanita
itu. Harusnya aku yang berada diposisinya. Menikah, punya keturunan,
dan hidup bahagia. Tapi aku berusaha untuk menerima., bukan karena
ancaman laki-laki dalam bidikanku ini. Aku hanya tidak ingin
mengganggunya saja dan membiarkannya bahagia” ia menghentikan cerita karena ponselnya
berdering.
“Ia
saya segera kesana, Pak.” ucapnya sebelum menutup telpon.
Ia
tersenyum padaku, memberi kode bahwa ia harus segera pergi.
“Aku
duluan ya, ada pekerjaan yang harus saya selesaikan. Kapan-kapan
bisa kita lanjutkan ceritanya. Kau masih punya hutang memberitahu
hasil tulisanmu. Hahaha”
“Hahahah,
iya jika kita tak sengaja bertemu lagi.”
Perempuan
itu seger berlalu. Tak lama kemudian Liana segera pergi ke kasir untuk membayar
beberapa gelas kopi yang sudah di teguknya.
Perjalanannya
menuju rumah terasa begitu sunyi. Kalimat-kalimat wanita itu memenuhi
otaknya.
“Dari
mana saja?” sapa pria di depannya dengan penuh senyuman.
“Dari
warung kopi, suntuk di rumah sendiri. Kau juga tak mengajakku keluar, padahal hari ini aku libur.”
“Aku kan sudah bilang, aku ada janji dengan teman-teman karena ada yang ingin diobrolkan. Tidak enak kalau harus mengajakmu. sudah jangan cemberut lagi, kau lebih cantik jika tersenyum"
Tidak terasa mata Iliana memanas dan menangis. Rekaman bayangan perkenalannya dengan laki-laki ini beberapa tahun lalu sampai akhirnya diputuskannya untuk menikah, memutar dengan begitu cepat.
"Mengapa menangis?"
Iliana tak menjawab, ia memeluk erat laki-laki yang kini menjadi suaminya. Laki-laki ini, laki-laki yang ia dekap saat ini, adalah bagian dari bidikan wanita tadi.
Tidak terasa mata Iliana memanas dan menangis. Rekaman bayangan perkenalannya dengan laki-laki ini beberapa tahun lalu sampai akhirnya diputuskannya untuk menikah, memutar dengan begitu cepat.
"Mengapa menangis?"
Iliana tak menjawab, ia memeluk erat laki-laki yang kini menjadi suaminya. Laki-laki ini, laki-laki yang ia dekap saat ini, adalah bagian dari bidikan wanita tadi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar