Jumat, 27 Januari 2017

Di Warung Kopi

Malam ini takbegitu ramai, gerimis membasahi jalanan beraspal di depan warung kopi. Liana masih belum beranjak dari tempat duduknya selepas magrib tadi. Pikirannya masih melayang jauh entah kemana.
 “Kosong?” sapa perempuan sebayanya.
“Iya, silahkan.”
Keheningan masih menyelimuti mereka berdua. Tak ada obrolan, hanya ada suara dentingan gelas yang beradu dengan alasnya, karena kopi dituang.
“Suka menyendiri disini?” sapa perempuan yang belum ia kenal.
“Lumayan. Anda juga sering kesini?” akhirnya Liana menimpali.
“Ya kadang kala suntuk.”
“Berarti sekarang sedang suntuk?”
“Tidak juga, aku tak berkata seperti itu. Hahaha..”
“Sial. Hahaha..”
“Hani” perempuan itu menyodorkan tangan.
“Liana.”
Lagu Faded 'Where are you know' memutar tidak terlalu kencang dari radio kopi. Mereka menikmatinya dengan diam. Menikmati hamparan sawah yang membentang di depan mereka, dengan lampu kota dari kejauhan.
“Suka memotret?” tanya Liana mencairkan suasana.
“Tidak terlalu, hanya sekali waktu saja jika tidak sibuk dengan urusan kantor. Kau suka menulis? Sudah berapa judul karangan yang kau rampungkan?”
“Hahahaha, saya hanya suka menulis judul, untuk isinya kadang kalau sedang ada yang ingin ditulis saja. Kalau tidak ya cuma tergeletak sebagai kertas kosong.”
“Kenapa suka menulis, bukankah itu rumit. Merangkai kata yang kadang putus ditengah.”
“Kau sendiri kenapa suka memotret?”
“Memotret itu lebih gampang, tinggal membidikkan lensa kamera pada sasaran. Kadang hasil jepretan juga bisa bercerita lebih banyak dari rangkaian panjang kata-kata. Bukankah begitu?” iya tersenyum menyeringai.
“Tapi kan tidak semua orang bisa membaca hasil bidikan seseorang.”
“Itu hanya orang yang enggan mencari tahu apa maksud yang ingin disampaikan dari foto itu.”
“Sudah berapa lama menekuni?”
“Cukup lama, tapi hanya sebatas hobi, tidak minat untuk lebih serius.”
“Kenapa?”
“Tidak mengapa, memotret buatku hanya untuk mengabadikan kenangan. Tidak lebih.”
Warung kopi mulai tampak ramai. Malam ini memang malam minggu. Hampir semua bangku di warung kopi terisi penuh. Lampu minyak menyala disetiap tiang penyangga. Asap rokok mulai sedikit memenuhi warung.
“Ceritakan padaku apa enaknya menulis? Jangan bilang tidak tahu. Aku sudah melihat bukumu terisi penuh dengan coretan tanganmu dengan macam-macam judul. Hahaha..”
“Sial, kau mengintip. Hahaha.. Menulis itu menyenangkan. Menuliskan apapun yang kita pikirkan. Setidaknya apa yang menyesakkan pikiran bisa sedikit berkurang. Menulis membuatku mengingat runtut setiap kejadian tanpa terlewatkan sedikitpun.” pandangan Liana kosong menatap sawah.
“Kau ingin lihat hasil bidikanku?”
“Iya boleh.”
“Ini gunung yang pernah aku kunjungi. Aku suka mendaki. Entah mengapa pemandangan dari atas selalu menarik minatku.” ia menceritakan satu persatu hasil bidikannya. Liana memperhatikan dengan seksama setiap jepretan yang diperlihatkan kepadanya.
“Ini siapa?” tanya Liana kemudian, karena dari sekian banyak pemandangan, terselip foto seseorang yang sedang mengulum senyum menatap kamera.
“Laki-laki ini? Ia temanku, teman dekat maksudnya. Sangat dekat mungkin. Tapi entah sekarang dimana.”
“Kekasih maksudnya?”
“Bukan, tetapi hubungan kami lebih dekat dari itu. Kekasih kadang bisa bertengkar. Kami tidak. Tidak pernah ada perselisihan diantara kami. Kami selalu bertukar cerita apapun. Dia teman kerjaku dulu. Kami selalu bersama entah dikantor ataupun diluar. Ia yang mengenalkanku pada gunung., pada indahnya pemandangan dari atas puncak.” ia terdiam. Matanya sedikit berkaca-kaca.
“Lalu?”
“Suatu hari ia memintaku untuk tidak menghubunginya lagi. aku meminta penjelasan, tapi ia diam. Aku mencari tahu, ternyata ia mempunyai kekasih. Meraka sudah cukup lama menjalin hubungan dan akan segera menikah. Meski aku tidak tahu kapan tanggal pastinya. Aku sempat tidak terima, aku berusaha menghubungi wanitanya, meski aku tidak pernah tau langsung wajah wanita itu. Aku hanya tahu nama lengkapnya saja.” wajahnya memerah seperti meredam amarah.
“Kau marah pada pria itu?”
“Tidak, aku tak pernah bisa marah padanya. Aku hanya tak suka pada wanita itu. Harusnya aku yang berada diposisinya. Menikah, punya keturunan, dan hidup bahagia. Tapi aku berusaha untuk menerima., bukan karena ancaman laki-laki dalam bidikanku ini. Aku hanya tidak ingin mengganggunya saja dan membiarkannya bahagia” ia menghentikan cerita karena ponselnya berdering.
“Ia saya segera kesana, Pak.” ucapnya sebelum menutup telpon.
Ia tersenyum padaku, memberi kode bahwa ia harus segera pergi.
“Aku duluan ya, ada pekerjaan yang harus saya selesaikan. Kapan-kapan bisa kita lanjutkan ceritanya. Kau masih punya hutang memberitahu hasil tulisanmu. Hahaha”
“Hahahah, iya jika kita tak sengaja bertemu lagi.”
Perempuan itu seger berlalu. Tak lama kemudian Liana segera pergi ke kasir untuk membayar beberapa gelas kopi yang sudah di teguknya.
Perjalanannya menuju rumah terasa begitu sunyi. Kalimat-kalimat wanita itu memenuhi otaknya.
“Dari mana saja?” sapa pria di depannya dengan penuh senyuman.
“Dari warung kopi, suntuk di rumah sendiri. Kau juga tak mengajakku keluar, padahal hari ini aku libur.”
“Aku kan sudah bilang, aku ada janji dengan teman-teman karena ada yang ingin diobrolkan. Tidak enak kalau harus mengajakmu. sudah jangan cemberut lagi, kau lebih cantik jika tersenyum"

Tidak terasa mata Iliana memanas dan menangis. Rekaman bayangan perkenalannya dengan laki-laki ini beberapa tahun lalu sampai akhirnya diputuskannya untuk menikah, memutar dengan begitu cepat.
"Mengapa menangis?"
Iliana tak menjawab, ia memeluk erat laki-laki yang kini menjadi suaminya. Laki-laki ini, laki-laki yang ia dekap saat ini, adalah bagian dari bidikan wanita tadi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar