Sabtu, 29 November 2014

Insan Berbudi Utama



Ibu adalah insan berbudi utama. Hatinya begitu tulus dan lembut. Rela melakukan apapun demi anaknya, meski diantaranya terkadang capai, lelah, bahkan sedang sakit. Tapi beliau sebisa mungkin untuk menutupi agar putra putrinya tidak khawatir padanya.
Ibu adalah anugrah terindah dari Tuhan untuk menemani dan menjaga buah hati. Begitu pula ibunda saya. Beliau begitu sabar untuk membimbing dan menjaga saya setiap waktu. Tangannya selalu terbuka untuk memeluk saya dalam keadaan apapun. Mendengar cerita-cerita saya tanpa bosan. Membelai kepala saya ketika saya sedang bermanja dipangkuannya dan mulai bercerita.
Ibunda saya merupakan keturunan orang Solo. Meski begitu ibu tergolong orang yang sedikit keras dibandingkan yang lain, tapi sungguh beliau sangat baik hati. beliau selalu member batasan tegas untuk segala peraturan. Jika putih ya putih, jika hitam ya hitam, tidak bingung dan terperangkap di zona abu-abu. Beliau akan menjadi orang terdepan apabila saya dilukai, dan akan menjadi pendorong semangat terhebat.
 Sewaktu saya kecil, beliau direpotkan kesana kemari untuk meyiapkan sarapan dan bekal saya untuk pergi ke sekolah. Mengantarkan saya hingga pintu gerbang rumah, kemudian mencium kedua pipi saya sambil mendoakan kesuksesan saya, lalu melambaikan tangan ketika saya telah naik motor bersama ayah hingga saya hilang dari pandangan beliau.
Suatu ketika, beliau memeluk saya saat saya akan tidur siang. Beliau bercerita ngalor ngidul, sampai saya ingin menangis dibuatnya. Bukan karena ceritanya, tapi rasa bersalah saya yang mulai merambat perlahan hingga membuat kelopak mata saya basah. Bagaiman tidak, sewaktu sekolah saya pernah mendiamkan beliau hanya karena uang saku saya tak sama dengan teman-teman yang lain. Saat hari libur, saya tetap di rumah tanpa diijinkan keluar seperti anak pingitan dan saya harus membeli semua keperluan saya sendiri dengan uang tabungan saya. Padahal kalau sekarang dipikir, ibunda saya pasti punya tujuan untuk itu. Membiasakan anaknya untuk tidak boros, membiasakan anaknya berjuang untuk mendapatkan sesuatu, tapi malah saya diamkan. Dan saat itu beliau berkata, beliau bangga pada saya. Sungguh berbanding terbalik balasan beliau terhadap sikap saya.
Beliau tidak pernah marah atas sikap saya. Meski saya diamkan seharian dan bebrapa kali kami pernah terlibat perdebatan untuk memutuskan sesuatu. Malah beliau begitu bijaksana dalam mengambil sikap untuk menghadapi saya. Tak pernah ada kata-kata kasar ataupun menyinggung perasaan saya. Beliau berusaha sekuat tenaga untuk menjaga hati saya agar tidak terlukai oleh perkataannya.
Ketika malam telah berhasil menggulirkan matahari secara sempurna. Kami selalu menghabiskan waktu bersama dengan scangkir teh hangat di depan tv. Kemudian makan malam bersama jika nasi dan lauk ada. Tapi apabila lauk di piring tersisa cuma satu, maka beliau selalu mengatakan bahwa sudah makan atau sudah mengantuk, agar lauk itu hanya aku yang memakannya. Beliau rela kelaparan yang penting putrinya kenyang.
Jika saya sedang sakit. Ibunda selalu tidak tidur semalaman hanya untuk mengompres panas badan saya hingga turun. Membuatkan bubur kemudian meyuapi, hingga rela tidak masuk kerja demi menjaga anaknya.
Dan hal terbesar yang beliau lakukan akhir-akhir ini ketika saya berada di Kediri. Saya merupakan lulusan dari Universitas negeri di kota saya, kemudian melanjutkan untuk belajar bahasa Inggris di Pare Kediri selama berbulan-bulan. Dikarenakan Kediri cukup jauh dari kota saya, maka ibu memberi sejumlah uang bulanan kepada saya melalui bank. Sempat saya bertanya mengapa kirimannya banyak sekali, beliau selalu menjawab agar saya tidak kelaparan, kalaupun sisa beliau menyarankan untuk menabung. Sempat saya menolak jumlah yang dibilang lumayan banyak, secara saya tinggal di sebuah desa kecil bukan perkotaan. Saya juga paham perekonomian keluarga saya, tapi ibu selalu meyakinkan bahwa semua baik-baik saja.
Sebulan saya di Pare, ibu datang menjenguk bersama ayah. Ibu sampai di depan kost saya sekitar pukul 9. Dia membawa banyak kardus berisi makanan dan sebagian baju serta buku bahasa inggris. Setelah saya tanya, cepat sekali sampai di Pare. Padahal dari Jember menuju Pare membutuhkan waktu minimal 7 jam. Dan saya dibuat tercengang, karena beliau berangkat sebelum jam 12 malam demi bertemu saya. Setelah ngobrol kesana kemari, dan sempat makan siang serta solat, pukul dua siang beliau pamit untuk pulang. Sungguh saya tidak tega, dan menangis seketika saat itu. Kota kami bukan kota yang dekat. Butuh waktu lama dan cukup menguras tenaga. Sedangkan beliau hanya beberapa jam saja demi membawakan saya makan. Beliau memanfaatkan hari minggu karena libur bekerja.
Sejak saat itu saya melarang ayah dan ibunda saya datang. Bukan tidak ingin bertemu, tapi saya tidak tega pada keadaan mereka. Saya yang akan sering pulang jika ada libur. Dan syukur beliau menyetujui. Berbulan-bulan saya di Pare. Sekitar setengah tahun lebih. Akhirnya saya lulus juga dari tempat ini. Saya kembali pulang ke rumah dan tinggal bersama ayah ibu lagi. Sempat kaget melihat kondisi ibunda yang sedikit kurus daripada bulan sebelum-sebelumnya, ketika saya pulang karena mendapat jatah liburan. Tapi beliau selalu meyakinkan bahwa semua baik-baik saja.
Tak lama setelah itu, ayah bercerita. Bahwa mereka hanya makan dengan nasi putih dan tempe ataupun nasi putih dengan sayur saja tanpa lauk. Yang penting saya bisa makan diperantauan dan tidak susah jika membutuhkan sesuatu. Ada rasa bersalah yang begitu luar biasa kepada ayah, terlebih ibu karena beliau yang mengatur perekonomian keluarga kami.
Kini rambut putihnya semakin banyak, sering merasa sakit dibagian kaki atau sendi-sendi yang lain. Tenaganya tak sekuat dulu. Tapi beliau selalu tersenyum ketika saya tanya sakit dibagian mana. Pernah beliau mengatakan “telapak kai ibuk kok sakit ya, tapi gak apa-apa kok masih bisa buat jalan”. Selalu saja ada kata-kata tidak apa-apa, seakan meyakinkan semua dalam kondisi baik.
Sungguh hati ibunda lebih luas dari samudra. Beliau akan mengorbankan apapun untuk saya, sekalipun nyawanya. Tidak pernah mengeluh dan menyerah dalam kondisi apapun. Semoga ibu selalu diberi kesehatan dan keberkahan usia agar bisa menemani saya hingga nanti.




2 komentar:

  1. Terima kasih atas partisipasi sahabat dalam Kontes Unggulan : Hati Ibu Seluas Samudera
    Segera didaftar
    Salam hangat dari Surabaya

    BalasHapus
  2. sudah pakdhe, emailnya sudah saya balas. untuk profil saya sudah saya kirim ke fb. terima kasih :)

    BalasHapus