Rabu, 18 Desember 2013

Mencari Cara Smart


Pagi ini saya berkemas untuk pergi kesuatu tempat, kota Malang lebih tepatnya. Sebenarnya bukan liburan, tapi menghindari acara corat-coret baju seragam SMA usai pengumuman kelulusan. Ya begitulah adanya, saya adalah anak semata wayang dari pasangan suami istri asal Jember. Orang tua saya selalu membatasi kegiatan yang mereka anggap tidak berdampak positif dan saya manut saja.

Selepas SMA saya melanjutkan studi disalah satu universitas di kota saya.  Pada waktu itu saya memilih fakultas ekonomi dan alhamdulillah diterima, sayang bapak ibu tidak mendukung. Terpaksa saya harus mengikuti ujian ulang untuk masuk pada fakultas yang orang tua saya inginkan. Tak lama setelah itu, pengumuman penerimaan mahasiswa baru dipampang dan saya diterima pada fakultas keguruan, atau lebih dikenal dengan FKIP.

Menjadi mahasiswa angkatan 2009 yang tidak terlalu smart dan menjalani kuliah dengan keterpaksaan adalah ujian terbesar kala itu. Melawan rasa malas yang luar biasa dan memahami mata kuliah yang sama sekali tidak dicintai merupakan makanan pokok setiap harinya. Teman-teman saya yang begitu antusias mendengarkan dosen, rajin dan tepat waktu dalam mengerjakan tugas, sangat berbanding terbalik dengan apa yang saya lakukan. Saya lebih senang diberi tugas merangkum buku daripada harus duduk berjam-jam mendengarkan dosen memberikan materi.  Bahkan tugas yang harus dikumpulkan pukul  11 siang, saya mulai mengerjakan pukul 6 pagi.

Hal tersebut tentu berdampak pada indeks prestasi yang saya peroleh. 2,91 adalah IP saya saat semester pertama. Sedih, sebel, marah, semua jadi satu. Teman-teman saya mendapatkan IP diatas 3,5 dan saya mendapatkan hasil jauh dibawah mereka. Meski begitu saya cukup sadar diri mengapa nilai saya hancur.

Semester-semester selanjutnya saya bertindak sedikit smart dengan mencintai apa yang ada di sekitar saya. Mulai dari saya mencintai fakultas, mencintai orang-orang di sekitar saya entah teman-teman ataupun dosen, dan mencintai mata kuliah  yang saya tempuh (meski tidak bisa sepenuhnya). Hasilnya cukup memuaskan, nilai saya membaik meski merangkak perlahan, tapi setidaknya masuk dalam zona aman. 

Masuk pada semester lima, godaan mulai menerpa lagi. Tugas semakin banyak, mata kuliah semakin susah, teman-teman banyak yang mulai mundur, dan saya terpilih menjadi skretaris FPTI (Federasi Panjat Tebing Indonesia) cabang Jember. Seringnya ada rapat dadakan dan lomba panjat dinding disana sini semakin memperlihatkan saya yang tidak smart dalam membagi waktu. Semua itu lagi-lagi berdampak pada nilai kuliah saya. Meski tetap di atas tiga koma, tapi saya termasuk pimilik nilai terendah. Kemudian saya memutuskan mencari cara smart dengan menghadiri rapat dan lomba seusai saya kuliah.
Peserta lomba panjat dinding

Masuk semester tujuh,saya menempuh mata kuliah PPL. Itu tandanya saya harus mengajar pada sekolah-sekolah yang sudah ditentukan oleh pihak kampus. Saya dan 21 teman lainnya dari berbagai jurusan mendapat tugas untuk mengajar selama empat bulan di salah satu SMK di pusat kota. Banyak sekali suka duka yang saya dapat  selama periode September awal hingga Desember akhir.  Banyak pula pengalaman dan pelajaran yang saya dapat.

Pengalaman pertama, harus beradaptasi dengan memahami lingkungan dan orang-orang baru. Mendapatkan tugas mengajar pada siswa kelas sebelas dengan segala prilaku baik buruknya merupakan keadaan yang harus dihadapi. Pengalaman kedua, persoalan individu maupun kelompok yang berkaitan dengan PPL selalu dirapatkan, dan itu melatih saya untuk menghargai dan menghormati pendapat yang sangat bertolakbelakang dengan apa yang saya pikirkan. Pengalaman ketiga, belajar sabar dalam situasi apapun terlebih menghadapi siswa yang notabene meremehkan materi guru praktek. Semua pengalaman itu menjadikan saya menjadi sedikit smart dibandingkan dengan sebelumnya.
 Rekan saat PPL



Setelah PPL usai saya kembali pada runtinitas sebagai mahasiswa, kali ini saya disibukkan dengan skripsi. Tidak semudah yang dibayangkan, terlebih saya harus memahami materi yang dari awal tidak saya suka. Terbengkalai beberapa bulan sudah pasti, ditambah dengan segudang tekanan yang membuat saya semakin malas untuk menggarap.  Hingga suatu saat, saya mulai berpikir sampai kapan akan menjadi mahasiswa.  Bapak ibu juga sangat mengharapkan saya cepat lulus.

Melawan rasa malas, memahami materi skripsi yang tidak saya cintai, dan bolak-balik ke kampus untuk bimbingan adalah rutinitas baru saya. Cukup membosankan, dan lagi-lagi saya terpaksa mencari cara smart  untuk menanggulangi hal itu. Saya membayangkan senyum bapak ibu ketika saya wisuda nanti dan hal itu cukup ampuh untuk menepis kebosanan yang melanda tiba-tiba.

Semangat saya kembali membara, ditemani sahabat setia saya “Ma’rifatus Zuhlia” saya menghabiskan waktu untuk bertukar pikiran, mencari materi, dan melakukan penelitian. Saat terjun ke lapangan, saya dibantui oleh banyak kawan, maklum penelitian saya membahas tentang bahasa komunitas. Setelah penelitian saya tuntas dan mendapat acc, tentu saya mengabari semua rekan yang membantu dan tentunya menyampaikan banyak terimakasih pada mereka. Saat itu pula saya mendapatkan semangat yang luar biasa ketika membaca banyak pesan di layar ponsel saya.

Akhirnya perjuangan kuliah saya tidak sia-sia. Senyum yang saya dambakan selama ini berhasil saya lihat dengan begitu nyata. Bahagia luar biasa ketika bapak ibu dengan bangganya berceita tentang saya pada rekan-rekannya.


Kesimpulannya smart bukan berarti mendapat nilai bagus, tapi smart menurut saya adalah mampu mencari cara terbaik untuk melawan ego diri sendiri dalam keadaan apapun demi kebahagiaan orang lain.

http://emakgaoel.blogspot.com/2013/11/lomba-blog-3-challenges-to-win-gadgets.html 

4 komentar:

  1. Haloo, Emak Gaoel mampir ngecek-ngecek peserta.
    Terima kasih ya sudah ikut meramaikan Ultah Blog Emak Gaoel.
    Good luck! ^_^

    BalasHapus
  2. mbak, kalo mau latihan panjat tebing dimana ya?

    BalasHapus