Saat saya menjalani masa kuliah, saya selalu iri melihat mereka para kawan yang telah meninggalkan kampus terlebih dahulu. Mereka sudah bisa tersenyum lega karena telah melewati masa yang notabene menegangkan, menakutkan, mencekam, yaitu sidang skripsi. Sedangkan saya masih harus berkutat dengan laptop memikirkan apa yang harus saya tulis demi sebuah tulisan ACC.
Ketika masa itu tiba, masa yang sudah lama saya nantikan, saya justru merasa biasa saja. Tersirat rasa bahagia ketika melihat wajah bapak ibu bangga melihat anaknya memakai toga, tapi itu tak berlangsung lama. Bahagia ada di hari itu saja.
Mendapatkan ucapan dari banyak kawan “Selamat telah menjadi sarjana” itu bukan suatu hal yang menyenangkan, karena dibalik kalimat itu ada makna besar “SELAMAT DATANG DI DUNIA KERJA YANG KERAS DAN KEJAM”. Saat dinyatakan bahwa saya telah resmi menjadi alumni, maka saya telah memasuki dunia bersaing. Saya mulai barsaing dengan manusia-manusia yang jumlahnya tak sama dengan teman sekelas saat perkuliahan, atau teman-teman yang menemani saat menyruput nikmatnya kopi, tapi saya bersaing dengan manusia dari seluruh pelosok nusantara.
Mencari informasi tentang lowongan dan memasukkan surat lamaran menjadi rutinitas saya. Sungguh tidak bangga menjadi seorang pengagguran. Sudah mulai malu saat mengadahkan tangan pada bapak ibu meminta uang saku bulanan. Harusnya mereka sudah bersantai di rumah menikmati masa tua berdua, dan anaknya yang mulai bekerja dan membiayai segala keperluan keluarga. Tapi sayangnya, hingga saat ini belum ada pengumuman dari berbagai perusahaan yang telah saya lamar.
Saat melamar kerja saya dihadapkan dengan banyak proses dan peristiwa, salah satunya adalah wawancara. Pertanyaan yang sering saya dengar adalah “Siapa anda?” dan “Apa cita-cita anda?”. Mungkin terdengar mudah, tapi justru itu adalah pertanyaan tersulit untuk saya jawab. Saya tidak bisa dengan mudah menjawab seperti saat saya kecil dulu yang mudah saja menjawab “saya ingin jadi dokter”, “saya mau jadi polwan”, atau “saya ingin jadi insinyur”. Mungkin bisa saja saya menjawab “saya ingin membahagiakan bapak ibu saya, atau keluarga saya” atau “saya ingin menjadi orang sukses”, tapi sayang kadang semangat dan optimisme untuk menjawabnya lenyap begitu saja, terhapuskan oleh pendapat yang ditularkan banyak orang bahwa “hidup itu tidak mudah”. Bukankah tak masalah jika kita bercita-cita menajadi pramugari tapi justru jadi pelayan toko. Bercita-cita menjadi dokter tapi justru menjadi staf-staf kantor. Tidak ada yang salah dengan segala jawaban, dan tidak ada yang salah dengan pekerjaan selama itu halal.
Maka dari itu saya berpikir, saya mungkin tak bisa menentukan awalnya bagaimana, tapi saya berhak menentukan hasil akhir yang saya inginkan, dan itu semua tidak bisa didapat dengan hilangnya semangat, antusias dan optimisme yang pernah saya miliki lalu berganti menjadi rasa pasrah, tak berdaya dan banyak orang menganggapnya sebagai bentuk syukur, kemudian berubah menjadi frustasi dan depresi dan banyak yang menganggapnya sebagai bentuk takdir.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar