Fajar mulai muncul, dengan hawa
dingin yang menyelimuti perkampungan ini. Saya dan ibunda tercinta segera
bersiap menuju lembaga kursus bahasa asing untuk mendaftar sebagai muridnya. Sebenarnya
pendaftaran akan dibuka pukul tujuh, tapi saya dan ibunda saya sudah siap di
lokasi sekitar pukul 05.30, sudah terbayang kan bagaimana sepinya tempat itu. Kami
memang ingin segera mendaftar, agar bisa kembali ke Jember dengan segara. Ya tempat
kursus saya memang berada di luar kota. Di Pare Kediri tepatnya.
Menjadi siswa disana selama
bulan-bulan pertama bisa dibilang susah-susah gampang. Saya yang tidak bisa
bahasa inggris sama sekali, karena saya membenci pelajaran tersebut sejak jaman
SMP, dan sekarang saya harus memakan materi bahasa asing itu di dalam kelas
setiap hari full dari pukul 06.30 sampai pukul 12.00, dilanjut pukul 14.00-
16.30. Penat, bosan, pengen rasanya teriak minta pulang, pokoknya tidak ada
rasa nyaman. Hanya saja ibunda saya menjadi bahan pertimbangan jika saya
menyerah begitu saja.
Menginjak tiga bulan, saya pindah
dari kost ke tempat camp. Camp disini mirip dengan asrama. Dengan segala
peraturan yang jauh lebih ketat daripada kost, ditambah interaksi di camp
dilarang menggunakan bahasa Indonesia ataupun bahasa daerah, dan itu cukup
membantu saya. Sampai pada akhirnya saya dinyatakan naik menjadi siswa TC, dan
pada masa inilah saya mengenal pria asal Jepara itu.
Laki-laki sebaya dengan kulit sawo
matang, terlalu matang mungkin, sering menyapa saya ketika istirahat. Saya yang
sering menghabiskan waktu istirahat dengan duduk di tempat parker sepeda bersama
rekan-rekan saya, sering meilhat pria itu duduk tak jauh dari kami. Pria yang
tidak saya kenal namanya dan baru saya tahu kalau dia juga tercacat sebagai
siswa lembaga ini, selalu menunjukkan gaya akrab dan seakan sudah mengenal saya
sejak lama. Cukup risih juga awalnya, tapi ya sudahlah saya menganggap sebagai
teman baru.
Sapaan rutinnya setiap jam istirahat
berlanjut ketika kami tergabung dalam Sunlight
Meeting. Agenda mingguan yang mewajibkan siswanya menggunakan pakaian hitam
putih dengan acara pembacaan Holy Qur’an,
speech, dan resting. Pada suatu
kesempatan kami mengemban tugas yang sama di hari yang sama menjadi speaker, dan itu membuat kami menjadi
lebih sering bertemu karena harus menjalani gladi bersih sampai hari-H.
Tetap dengan rasa canggung dan aneh
kami mengobrol hal yang tidak terlalu penting. Dan setelah selesai acara dia menawarkan
untuk sarapan bersama, dengan alasan esok hari sudah masuk bulan Ramadhan. Darisanalah
pertemanan kami terjalin.
Pria Jepara yang dijuluki sell expensive oleh salah satu guru
kami, memang orangnya sangat cuek. Sampai-sampai dari beberapa cerita, ada
beberapa teman wanita yang dia tolak saat mengjak makan bersama. Padahal dia
cukup mengenal wanita-wanita tersebut. Meski begitu dia mempunyai loyalitas
yang cukup tinggi dengan kawan-kawan
sekelompoknya.
Otaknya yang cukup cerdas dan mau
membantu saya belajar kapanpun, sampai menemani saya ujian persyaratan sebelum
ke Borobudur, cukup membuat saya mengaguminya. Sebenarnya letak rasa kagum saya
bukan bertumpu disitu, tapi lebih pada pembawaan dirinya. Laki-laki berkacamata,
pecinta buku yang sangat menggilai sosok Pramoedya, menjadi motivator terbesar
dan patner saya untuk bertukar pikiran saat menulis. Meski saya tahu, saya
tidak cukup mampu menandingi kemampuannya yang sangat mengenal satrawan-sastrawan
besar dunia. Tidak heran memang, karena kkawan-kawan nongkrongnya di Jogja semua
adalah pecinta buku yang membuat saya berdecak
kagum sekaligus iri. Mereka tidak hanya sekedar ngopi lalu bercerita ngalor ngidul tanpa tujuan seperti kebanyakan
pemuda, tapi mereka ngopi sambil bertukar pikiran tentang segala buku yang
mereka baca. Dan sebagian besar diantara mereka adalah sangat ahli dalam berbahasa
inggris, hingga ada yang sempat dikirim ke luar negeri untuk beberapa waktu
menempuh ilmu di Negara Eropa. Hal itu yang membuat saya mau memutuskan untuk diajak
berkomitmen.
Semenjak berkomitmen, pria Jepara ini
semakin terlihat baik dengan segala perhatian dan perjuangannya. Bahkan ketika
saya menyruhnya agar segera menjadi sarjana, dia rela bolak-balik, Yogyakarta-Pati-Semarang-Jepara-Yogyakarta
agar penelitiannya cepat selesai. Dan terbukti dia menyelesaikan mulai dari
pengajuan judul sampai sidang dalam tempo 3 bulan. Padahal saya dulu
meyelesaikan skripsi butuh waktu hampir satu tahun. Terbesit rasa bangga itu
sudah pasti, karena saya merasa cukup diperhitungkan.
Pria Jepara cukup pintar untuk
membuat saya terharu. Dulu saat di Pare dia rela mengayuh sepeda cukup jauh, hanya
untuk mengajak saya ke pinggiran lapangan bola, bukan focus untuk menyaksikan
para pemuda menggiring dan menendang bola. Tapi mengenalkan saya pada
background senja diantara kami semua.
Setelah kami dinyatakan lulus dari
sana, kami kembali ke kota masing-masing dan menjalani hubungan jarak jauh. Beberapa
waktu lalu diia mengirimi lukisan hasil karyanya sendiri, yang disana
menggambarkan makan malam pertama kami di warung soup yang kami tempuh beberapa
menit dengan sepeda kayuh. Lukisan itu dia hadiahkan sebagai kado ulang tahun
saya beberapa bulan lalu. Disana terselip beberapa surat yang membuat saya
sempat menangis. Dia menuliskan ucapan beserta gambaran rindu yang sangat besar
diantara kami.
Pria Jepara yang tidak suka
mengumbar hubungan kami di media sosial, membuat saya mengernyitkan dahi untuk
membaca beberapa kalimat dalam tulisannya. Bagiamana tidak, dia memposting
beberapa tulisan opininya untuk mengomentari segala sesuatu, tapi disana dia juga
menyempatkan diri untuk menyelipkan diri saya sabagai tambahan tulisnnya. Meski
tidak gamblang menceritakan siapa saya, tapi cukup jelas maknanya bahwa dia
mengakui tentang keberadaan saya. Dia cukup piawai dalam menulis karena memang
referensi bacaannya cukup banyak, mekski sempat dokter memvonis akan terjadi
kebutaan karena ada kerusakan pada retinanya, tapi sampai sekarangpun dia tetep
menggilai buku yang mungkin dia beli dua minggu sekali.
Hai, pria Jepara. Bagaimana senjamu hari ini??
Pria Jepara katanya
Pria Jepara (berkacamata dan berbaju putih) beserta rekan-rekan dan guru saya (mom Yuni) saat di Pare
aku speacless. cukup itu. thanks untuk rasamu
BalasHapusI love you 😘
Hapusaku juga speechles, ngga usah komen kalo gitu ya *padahal wis komen*
BalasHapus