Pagi ini saya berkemas untuk pergi kesuatu tempat, kota
Malang lebih tepatnya. Sebenarnya bukan liburan, tapi menghindari acara
corat-coret baju seragam SMA usai pengumuman kelulusan. Ya begitulah adanya,
saya adalah anak semata wayang dari pasangan suami istri asal Jember. Orang tua
saya selalu membatasi kegiatan yang mereka anggap tidak berdampak positif dan
saya manut saja.
Selepas SMA saya melanjutkan studi disalah satu universitas
di kota saya. Pada waktu itu saya
memilih fakultas ekonomi dan alhamdulillah diterima, sayang bapak ibu tidak
mendukung. Terpaksa saya harus mengikuti ujian ulang untuk masuk pada fakultas
yang orang tua saya inginkan. Tak lama setelah itu, pengumuman penerimaan
mahasiswa baru dipampang dan saya diterima pada fakultas keguruan, atau lebih
dikenal dengan FKIP.
Menjadi mahasiswa angkatan 2009 yang tidak terlalu smart dan menjalani kuliah dengan
keterpaksaan adalah ujian terbesar kala itu. Melawan rasa malas yang luar biasa
dan memahami mata kuliah yang sama sekali tidak dicintai merupakan makanan
pokok setiap harinya. Teman-teman saya yang begitu antusias mendengarkan dosen,
rajin dan tepat waktu dalam mengerjakan tugas, sangat berbanding terbalik
dengan apa yang saya lakukan. Saya lebih senang diberi tugas merangkum buku
daripada harus duduk berjam-jam mendengarkan dosen memberikan materi.
Bahkan tugas yang harus dikumpulkan pukul 11 siang, saya mulai mengerjakan pukul 6
pagi.
Hal tersebut tentu berdampak pada indeks prestasi yang saya
peroleh. 2,91 adalah IP saya saat semester pertama. Sedih, sebel,
marah, semua jadi satu. Teman-teman saya mendapatkan IP diatas 3,5 dan saya
mendapatkan hasil jauh dibawah mereka. Meski begitu saya cukup sadar diri
mengapa nilai saya hancur.
Semester-semester selanjutnya saya bertindak sedikit smart dengan mencintai apa yang ada di
sekitar saya. Mulai dari saya mencintai fakultas, mencintai orang-orang di
sekitar saya entah teman-teman ataupun dosen, dan mencintai mata kuliah yang saya tempuh (meski tidak bisa
sepenuhnya). Hasilnya cukup memuaskan, nilai saya membaik meski merangkak
perlahan, tapi setidaknya masuk dalam zona aman.
Masuk pada semester lima, godaan mulai menerpa lagi. Tugas
semakin banyak, mata kuliah semakin susah, teman-teman banyak yang mulai
mundur, dan saya terpilih menjadi skretaris FPTI (Federasi Panjat Tebing
Indonesia) cabang Jember. Seringnya ada rapat dadakan dan lomba panjat dinding
disana sini semakin memperlihatkan saya yang tidak smart dalam membagi waktu. Semua itu lagi-lagi berdampak pada nilai
kuliah saya. Meski tetap di atas tiga koma, tapi saya termasuk pimilik nilai
terendah. Kemudian saya memutuskan mencari cara smart dengan menghadiri rapat dan lomba seusai saya kuliah.
Peserta lomba panjat dinding
Masuk semester tujuh,saya menempuh mata kuliah PPL. Itu
tandanya saya harus mengajar pada sekolah-sekolah yang sudah ditentukan oleh
pihak kampus. Saya dan 21 teman lainnya dari berbagai jurusan mendapat tugas
untuk mengajar selama empat bulan di salah satu SMK di pusat kota. Banyak
sekali suka duka yang saya dapat selama
periode September awal hingga Desember akhir.
Banyak pula pengalaman dan pelajaran yang saya dapat.
Pengalaman pertama, harus beradaptasi dengan memahami lingkungan
dan orang-orang baru. Mendapatkan tugas mengajar pada siswa kelas sebelas
dengan segala prilaku baik buruknya merupakan keadaan yang harus dihadapi. Pengalaman
kedua, persoalan individu maupun kelompok yang berkaitan dengan PPL selalu
dirapatkan, dan itu melatih saya untuk menghargai dan menghormati pendapat yang
sangat bertolakbelakang dengan apa yang saya pikirkan. Pengalaman ketiga, belajar
sabar dalam situasi apapun terlebih menghadapi siswa yang notabene meremehkan
materi guru praktek. Semua pengalaman itu menjadikan saya menjadi sedikit smart dibandingkan dengan sebelumnya.
Rekan saat PPL
Setelah PPL usai saya kembali pada runtinitas sebagai
mahasiswa, kali ini saya disibukkan dengan skripsi. Tidak semudah yang
dibayangkan, terlebih saya harus memahami materi yang dari awal tidak saya
suka. Terbengkalai beberapa bulan sudah pasti, ditambah dengan segudang tekanan
yang membuat saya semakin malas untuk menggarap. Hingga suatu saat, saya mulai berpikir sampai
kapan akan menjadi mahasiswa. Bapak ibu
juga sangat mengharapkan saya cepat lulus.
Melawan rasa malas, memahami materi skripsi yang tidak saya cintai,
dan bolak-balik ke kampus untuk bimbingan adalah rutinitas baru saya. Cukup membosankan,
dan lagi-lagi saya terpaksa mencari cara smart
untuk menanggulangi hal itu. Saya membayangkan
senyum bapak ibu ketika saya wisuda nanti dan hal itu cukup ampuh untuk menepis
kebosanan yang melanda tiba-tiba.
Semangat saya kembali membara, ditemani sahabat setia saya “Ma’rifatus
Zuhlia” saya menghabiskan waktu untuk bertukar pikiran, mencari materi, dan
melakukan penelitian. Saat terjun ke lapangan, saya dibantui oleh banyak kawan,
maklum penelitian saya membahas tentang bahasa komunitas. Setelah penelitian
saya tuntas dan mendapat acc, tentu saya mengabari semua rekan yang membantu
dan tentunya menyampaikan banyak terimakasih pada mereka. Saat itu pula saya
mendapatkan semangat yang luar biasa ketika membaca banyak pesan di layar
ponsel saya.
Akhirnya perjuangan kuliah saya tidak sia-sia. Senyum yang
saya dambakan selama ini berhasil saya lihat dengan begitu nyata. Bahagia luar
biasa ketika bapak ibu dengan bangganya berceita tentang saya pada
rekan-rekannya.
Kesimpulannya smart bukan
berarti mendapat nilai bagus, tapi smart
menurut saya adalah mampu mencari cara terbaik untuk melawan ego diri sendiri
dalam keadaan apapun demi kebahagiaan orang lain.
Haloo, Emak Gaoel mampir ngecek-ngecek peserta.
BalasHapusTerima kasih ya sudah ikut meramaikan Ultah Blog Emak Gaoel.
Good luck! ^_^
iyah, terimaksih sudah mampir :)
BalasHapusmbak, kalo mau latihan panjat tebing dimana ya?
BalasHapusDi daerah mna?? Klo jember y banyak..
Hapus