Sabtu, 13 Juli 2013

Budaya Penggencetan Adik Kelas


Banyak peristiwa yang saya alami tentang penggencetan, dimulai dari masuk sekolah menengah pertama. Saat itu saya harus mengikuti aturan sekolah sebagai siswa baru, yaitu menjalani masa orientasi. Banyak perintah-perintah tidak wajar dari kakak kelas yang harus dijalani. Mereka seenaknya menyuruh siswa baru melakukan hal-hal konyol yang bisa dijadikan bahan tertawaan. Bagi mereka yang punya kelebihan percaya diri, hal-hal tersebut bisa dilewati dengan mudah, tapi bagi yang mengidap minder akut, hal sekecil apapun akan membuatnya malu setengah mati. Harusnya saat masa orientasi, bukan digunakan untuk mencari sensasi, ajang mencari muka dan gaya-gayaan karena merasa lebih tua, tapi alangkah baiknya jikalau kakak-kakak kelas memberikan sesuatu yang bermanfaat, baik dan bisa dicontoh, bukan menciptakan peristiwa berkesan tapi tidak berbobot. Sungguh ironis.  
Hal tersebut berlanjut ketika saya masuk pada salah satu organisasi. Awal masuk, masih baik-baik saja, maklum para senior mencari anggota. Setelah memasuki minggu ketiga mulai ada tindakan penggencetan. Para senior marah-marah tidak jelas. Masalah kecil dibesar-besarkan, membentak-bentak di depan muka, bahkan ada tindakan untuk mendaratkan tangan di pipi karena saat itu kekerasan di dunia pendidikan belum di atur ketat, sehingga seperti dilegalkan. Saya dan teman-teman seperjuangan hanya bisa berargumen seadanya, jika salah kami harus selalu siap untuk dihukum  satu porsi. Satu porsi disini mempunyai arti, 100 push-up, 100 back-up, 100 jampingjam, 25 sit-up,dan 5 kali putaran lari keliling lapangan basket. Tapi saat itu saya menganggapnya sebagai ujian mental, dan bertahan hingga lulus dan mendapat sebutan purna. Pada saat masuk pada perguruan tinggi juga sama, ada ospek yang tidak beda jauh dengan masa orientasi siswa. Jikalau untuk mempererat silaturhmi antara kakak angkatan dan adik angkatan, saya masih memaklumi, tapi ternyata itu hanya tertulis di proposal saja, pada kenyataannya, kakak-kakak tingkat menjadikan ospek sebagai ajang cari jodoh, yang mereka suka, ya diperlakukan istimewa, yang tidak mereka suka diperintah ini itu. Sungguh tidak adil rasanya. Mengapa banyak orang bangga akan hal-hal seperti itu. Seakan-akan mereka bangga jikalau adik-adik kelasnya ketakutan dan mau menuruti perintah-perintah konyol. Misalnya saja mereka memerintahkan membeli bakso dengan diberi uang 300rupiah. Para peserta ospek terpaksa mengamen untuk mendapatkan uang. Setelah uang dirasa cukup mereka membelikan semangkuk bakso dan diserahkan kepada kakak tingkat yang menyuruh, kalau bakso tersebut dimakan bersama-sama mungkin tidak jadi masalah, tapi ternyata bakso tersebut dimakan sendiri dan akhirnya kakak tingkat yang lain juga ikut-ikutan untuk memberi uang seadanya untuk membeli ini itu. Tidak masuk diakal rasanya. 
Jika mereka melatih dan memberi pelajaran pada adik tingkat tentang susahnya mencari uang dan survival itu bagus. Yang menjadi masalah adalah perjuangan adik angkatan dimanfaatkan oleh kakak-kakak angkatan yang tidak bertanggung jawab untuk memenuhi keinginannya, membeli pulsa, makanan, minuman dan sebagainya yang dikonsumsi sendiri. 

Setelah menjadi mahasiswa dan berkawan dengan banyak mahasiwa dari fakultas dan jurusan lain, saya mulai mendapatkan banyak informasi untuk meminimalisir bahkan memusnahkan budaya penggencetan yang mendarah daging pada mereka-mereka yang menganggap dirinya senior. Saya mulai menanamkan pada organisasi yang saya ikuti saat SMA. Ketika pendidikan dan latihan atu lebih dikenal diklat, saya tidak ‘mengompori’ siswa baru untuk melawan senior, tapi saya melakukan pendekatan pada senior-senior yang merupakan adik kelas saya. Saya memberikan pengertian bahwa budaya penggencetan itu tidak ada manfaatnya, karena sikap keras didikan senior akan ditiru oleh adik-adiknya. Jika mereka menginginkan para junior bermental tangguh, tanpa adanya penggencetan juga bisa dilakukan. Pera senior tidak perlu memebentak-bentak di depan muka junior, karena suara lantang disertai emosi, juga merupakan penggencetan, meski bukan fisik tapi itu berpengaruh pada mental para junior. Jika ada yang melakukan kesalahan, para senior tidak perlu membentak, cukup menegur tetapi tetap tegas dan wibawa. Jika terpaksa memberi hukuman fisik, tidak perlu berlebihan, sewajarnya saja. Hal tersebut saya pantau terus menerus, tentunya dibantu teman-teman saya yang lain dan para senior saya terdahulu yang sama-sama menjbat menjadi purna atau alumni. Hal tersebut merdampak positif, mental-mental para adik tingkat saya bisa dibilang tangguh, dibuktikan banyaknya yang diberi amanat sebagai ketua kelas bahkan ketua osis, dan hal tersebut tidak menciptakan sekat antara junior, senior, serta purna karena mereka merasa dilindungi, dan para purna merasa di hargai. Untuk prestasi adik-adik kelas saya disetiap perlombaan juga  tidak diragukan lagi.Jadi, budaya penggencetan itu tidak ada manfaatnya.

2 komentar: